Sudah larut malam, tetapi pesan yang ia kirimkan belum juga dibaca. Bagaimana bisa terbaca, sedangkan pesan percakapannya belum juga muncul bertuliskan 'online'.
Mana mungkin rasa khawatir Rea bisa tenang sedangkan Sam belum juga memberi kabar. Ia juga sudah bertanya pada Bimbim, tetapi lelaki itu tak memberikan respon apa-apa.
Rea pun memilih untuk pergi ke ruang makan untuk makan malam. Tadi ibunya sudah memanggil, dan beliau bilang untuk secepatnya karena makanan sudah dihidangkan.
Setelah di ruang makan, Rea memberikan senyuman pada ketiga orang di sana. Rea mendudukkan tubuh tepat di samping kakak lelakinya yang baru pulang dari aktivitas kuliahnya di luar kota.
Tadi Rea sudah mengobrol kecil dengan Stevano. Bertanya kabar, dan apa saja aktivitas yang dilakukan kakaknya itu itu luar kota. Vano pun sama halnya.
"Adek Vano yang satu lagi mana, nih?" tanya Vano.
Tentu saja Vano mempertanyakan keberadaan Zio. Tadi memang sempat bertemu. Dengan dirinya yang menanyakan kabar, dan Zio yang hanya merespon seadanya.
"Di mana lagi kalo bukan di kamar sambil belajar," jawab Dara. Vano menganggukkan kepala tanda bahwa ia mengerti dengan jawaban ibunya.
Zio tak pernah hadir saat berkumpul. Alasannya pasti sedang menghapal pelajaran, mengerjakan tugas sekolah, membaca buku, atau lainnya yang berkaitan dengan belajar. Dara sudah sering menegur Zio agar tak terlalu larut dalam belajar, karena kesehatan Zio juga dapat terganggu. Zio tak mendengarkan ucapan sang ibu. Maka Dara hanya bisa memastikan kesehatan Zio yang kadang tidak makan karena terlalu larut belajar.
Dara tentu tak lupa dengan Rea. Ia juga sering menegur Rea yang jarang sekali belajar. Mengerjakan tugas sekolah pun jarang. Tak heran ia pernah dipanggil oleh wali kelas Rea karena nilainya yang selalu rendah. Rea selalu berjanji untuk memperbaiki nilai dan meningkatkan belajar, tetapi itu semua hanya omong kosong belaka. Sampai kini, Rea belum membuktikan janjinya. Ia malah berleha-leha kembali, tak peduli dengan belajar.
"Emang harus sepinter apa sih Bang kalo mau sukses? Gue yang cuma liatin dia antengin buku aja gak kuat," ucap Rea melirik ke arah Vano.
"Gini, deh, Re. Sepinter apa pun si Zio gak ngejamin dia bakal sukses. Tapi gue pernah denger, keberhasilan bakal datang buat orang yang sering berusaha," tutur Vano. Fauzan dan Dara hanya menyimak percakapan kedua anaknya itu.
"Emang gak belajar gak bakal sukses? Gak ngejamin juga, Bang. Siapa tau Tuhan nakdirin gue lebih sukses dari si Zio," desis Rea.
"Bisa jadi kalo rezeki. Padahal, lebih layak mereka yang udah usaha," jelas Vano santai.
Tak mendengar respon dari Rea, Vano kembali berkata, "Lo emang beda banget sama Zio. Harusnya lo ikutin gimana dia belajar."
Rea bungkam, sebelum akhirnya ia memilih pergi dari meja makan. Vano memijit dahinya bingung. Vano sama sekali tak membedakan kedua adiknya, ia sama rata menyayangi Rea dan Zio. Namun, pola pikir serta perbedaan karakter kedua adiknya membuat ia harus ekstra sabar dan ekstra tegas.
"Apa ucapan kamu nggak berlebihan, No?" tanya Dara sedikit khawatir. "Ibu takut tanggapan Rea tentang ucapan kamu itu bikin dia down."
Vano mengernyit. "Berlebihan gimana, Bu? Vano cuma jadiin Zio patokan biar Rea sama kayak Zio. Seenggaknya belajar, ngerjain tugas rumah, dan ningkatin nilai ulangan. Rapotnya di bawah KKM terus, 'kan?" tuturnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diamond & Crystal
Genç KurguRea Nanindita dipaksa dunia untuk menjadi sempurna. Zio Nanindya diprotes dunia karena dianggap sempurna. Nasib berbeda menimbulkan perlakuan berbeda. Karakter berbeda menimbulkan penilaian berbeda. Semua ucapan yang mereka dapati menghasuti keduan...