Rea baru saja menginjakkan kakinya di sekolah. Dari arah berlawanan, pandangannya melihat Sam yang sepertinya juga baru datang. Lelaki itu tak sendiri, di depannya sudah ada seorang gadis yang selalu menundukkan pandangan setiap kali ia berjalan.
Rea tersenyum lalu melambaikan tangan ke arah Sam yang kini justru tengah mengobrol dengan seseorang. Tak memedulikan, Rea terus melanjutkan langkahnya.
Sebuah senyuman tampak terbit dari bibir tipis milik Lily--adik Sam saat mereka berpas-pasan. Kesan sopan dan lembut selalu membuat siapa saja yang melihatnya menghangat, termasuk Rea. Ia begitu menyukai kepribadian yang dimiliki adik Sam.
"Pagi, Ly. Udah sembuh? Kalo masih ada yang kerasa mending istirahatin dulu sehari, takutnya nanti malah kecapekan." Rea memberikan sapaan lalu menanyakan kabar karena teringat dua hari kemarin Lily tengah sakit yang membuatnya tidak hadir ke sekolah.
Lily mengangguk dengan senyuman yang membuat matanya menyipit. "Gak apa-apa, Kak. Udah sembuh."
"Alhamdulillah kalo gitu. Jangan sakit lagi, ya. Sam pasti khawatir," ucap Rea membuat Lily melihat ke belakang untuk melihat kakaknya yang tengah berbicara dengan orang lain.
"Iya, Kak," jawab Lily seadanya tetapi sangat terkesan sopan dan berhati-hati.
"Kamu istirahatin dulu dari baca bukunya. Biar nggak terlalu kebanyakan mikir." Rea menyarankan.
"Makasih, Kak," jawab Lily berterima kasih. "Aku boleh duluan?" Ia pamit untuk pergi lebih dulu karena tahu Rea pasti akan lanjut berbicara dengan sang kakak.
"Iya, boleh. Hati-hati," ucap Rea yang hanya diangguki oleh Lily.
Selanjutnya, Sam menghampiri Rea dengan berkata, "tumben dateng pagi."
"Bukannya gue ya yang harus nanya gitu? Tumben banget lo datang pagi. Biasanya sedetik sebelum pagar ditutup," balas Rea yang sudah hapal dengan kelakuan lelaki itu.
"Lagi semangat aja," jawab Sam.
"Semangat ngebolos?" tanya Rea seakan tahu apa yang akan Sam lakukan. "Gue meski males belajar gak pernah tuh bolos-bolosan. Absen juga 'kan ngaruh sama nilai."
"Baru tau kalo lo juga mikirin nilai," ucap Sam membuat Rea memasang wajah tak terima.
"Iya, lah. Gini-gini gue juga kepikiran," jawab Rea. "Udah ah, gue mau lanjut jalan. Lagi buru-buru," lanjutnya langsung berjalan melewati Sam.
"Hati-hati jalannya Re, jatoh gak bakal gue tolongin." Sam berteriak setelah melihat langkah Rea yang memang terlihat tengah terburu-buru. Rea hanya merespon dengan memberikan lambaian tangan meski wajahnya tidak menoleh sama sekali.
Tidak ada alasan khusus mengapa Rea melangkah begitu cepat. Ia baru menyadari tatapan orang-orang yang ternyata memerhatikan interaksinya dengan siswa popular seperti Sam.
Selain itu, bisikan pelan masih mampu ia dengar sampai ke telinga. Selalu ada banyak kata menyakitkan yang keluar dari mulut mereka. Seperti sekarang, mereka berkata seakan-akan merasa iba, padahal jelas sekali terdengar merendahkan.
Sekuat mungkin Rea melewatinya dengan ekspresi wajah yang dibuat seolah tidak mendengar apa-apa.
"Rea, tolong ikut ibu ke ruang guru." Panggilan di depan mampu membuat Rea mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang berbicara padanya.
Di sana terlihat Bu Asri tengah tersenyum padanya yang dibalas dengan senyuman pula. Pikirannya jika dipanggil oleh guru adalah dihukum, diceramahi, atau dibandingkan lagi. Lelah, tetapi Rea memang pantas mendapatkan ini semua.
"Kenapa, Bu?" tanya Rea.
"Ikut ibu ke ruang guru. Ibu hanya akan menyuruh kamu membawakan hasil ulangan kemarin, karena ibu sedang buru-buru mau mengajar di kelas lain," tutur Bu Asri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diamond & Crystal
Подростковая литератураRea Nanindita dipaksa dunia untuk menjadi sempurna. Zio Nanindya diprotes dunia karena dianggap sempurna. Nasib berbeda menimbulkan perlakuan berbeda. Karakter berbeda menimbulkan penilaian berbeda. Semua ucapan yang mereka dapati menghasuti keduan...