D & C: [21]

219 13 20
                                        

Kehilangan sahabat adalah hal terberat. Apalagi sebelum mereka pergi, mereka memberikan luka karena telah berkhianat.

Kebanyakan merasa tidak percaya dengan pengkhianatan antara persahabatan. Sejatinya seburuk apa pun seseorang, jika sudah dianggap sahabat, kita sudah memberikan sebuah percaya. Tentu kalian tahu, kepercayaan adalah hal yang terpenting dalam hidup. Jika lepas kepercayaan, semuanya bisa saja hilang dan tak akan kembali seperti semula.

Jujur, Rea juga tak pernah menyangka bahwa Keva menjelek-jelekkan dirinya di belakang. Meski Keva sering berkata yang menyakitkan, mengatakan fakta keburukan yang ada dalam dirinya, ia kira Keva hanya berkata padanya saja. Ternyata tidak. Keva mengatakan hal itu ke orang lain, seakan-akan mengajak orang lain untuk membenci dirinya.

Sangat sulit untuk menerima fakta bahwa Keva sudah berkhianat. Kali ini, hatinya menolak untuk memaafkan Keva begitu saja. Bahkan pikirannya seakan-akan menyuruh agar ia membiarkan jika Keva pergi.

Lagi pula, Keva belum tentu peduli tentang persahabatan mereka yang sudah hancur ini.

Kali ini sepulang sekolah, Rea dan Ara memilih pergi ke sebuah tempat makan untuk menenangkan sejanak tentang masalah di dalam persahabatan mereka.

"Galau banget lo udah liat Keva yang asli. Biarin aja kali, ah. Lagian kita gak butuh orang kayak dia," ucap Ara membuat Rea mendongak menatap, "kita juga dari dulu emang kurang ngeh gitu, 'kan, kalo mau cerita sama dia? Meski gue yang pertama temenan sama dia, gue gak pernah ngerasa nyaman. Ya emang karena tingkahnya. Ngomong gak pernah dijaga, mana gak pernah minta maaf lagi."

Ara tahu betul bagaimana sikap sahabatnya ini. Hatinya lembut tak terpegang. Rea mudah berteman, mudah memaafkan, mudah untuk menolong. Tentu sikap Rea sangat menyenangkan bagi semua orang. Sayangnya, wajah yang dimiliki Rea tak membuat kebaikannya dihargai orang-orang.

"Biasa aja sebenernya. Gue juga kecewa. Tapi ya, masih gak nyangka aja, dia sama kayak orang lain, ngebandingin gue sama si Zio," balas Rea.

"Makin hari makin iri gue sama hidupnya si Zio. Tentram aja, gak ada yang ngerendahin, secara dia juga gak ada kekurangan." Rea mendongak ke atas, berusaha untuk menyembunyikan ekspresi kecewanya.

"Yang penting kita gak kayak si Zio yang cuma mikirin diri sendiri," balas Ara, "udahlah, kita gak perlu sedih-sedih gini. Kita gak rugi ninggalin si Keva, Re."

"Gue nanti pulang gimana? Ibu pasti marahin gue karena pulang jam segini. Dan Bang Vano juga pasti langsung nyuruh gue belajar sambil banding-bandingin sama si Zio," ucapnya penuh kekhawatiran.

"Jalani aja, Re. Gue udah bilang. Ini juga buat kebaikan lo. Atau gini deh, Re. Saran gue kalo lo gak mau diperlakuin gitu sama ibu dan abang lo, mending lo mandiri. Belajar sendiri, dan buktiin nanti," ucap Ara menyemangatkan.

Rea tidak merubah ekspresinya menjadi semangat seperti Ara. Ia menjawab, "Itu emang tujuan mereka. Kalo buat mereka terbaik, buat gue nggak. Bukan gini caranya kalo mau ngebuat gue lebih rajin belajar. Dengan kayak gini, gue malah mikir yang nggak-nggak ke mereka."

~~~

Dugaan Rea benar. Baru saja ia melangkah masuk ke dalam rumah, ibunya sudah berdiri tegap di depan.

Bukan tatapan hangat atau senyuman untuk menyalurkan semangat. Dara menatap Rea tegad, seolah menekankan pada Rea untuk lebih mendengarkan apa yang ia katakan.

Rea ingin menangis diperlakukan seperti ini. Padahal Rea sudah berani bercerita pada Dara tentang masalah yang ia punya. Ia kira Dara akan senantiasa ada. Ternyata tidak, Dara berubah. Seolah tak tahu apa pun masalah Rea. Seolah Dara tak peduli. Seolah Dara menuntut Rea hanya demi keinginannya sendiri.

"Jam segini baru pulang? Kamu gak malu? Liat kembaran kamu, Zio dari tadi di kamar lagi belajar. Kamu malah keluyuran gini." Dara langsung saja mengoceh.

Rea terdiam sejenak, setelah akhirnya ia mulai membuka suara. "Ibu kenapa, sih, jadi gini? Rea tau maksud Ibu kayak gini biar Rea sama kayak Zio. Tapi gak gini caranya, Bu. Rea semakin diperlakuin gak baik, Rea juga bakal makin ngelakuin hal yang gak baik buat Ibu."

"Ibu mengarahkan yang terbaik buat kamu. Jangan memberontak!" ucapnya meninggikan suara.

"Ibu bener-bener gak ngertiin Rea atau gimana?" Tak ingin mendengar jawaban ibunya, Rea memilih berlari pergi meninggalkan wanita itu menuju kamar.

Dara mencoba membiarkan langkah Rea. Namun ketahuilah, sekujur tubuhnya terasa panas dingin setelah sadar apa yang telah ia perbuat.

Teriakan memberontak dari Rea benar-benar membuatnya merasa bersalah. Tubuhnya mulai bergetar, merasa tak sanggup untuk melangkah. Ia melemas, mungkin sebentar lagi ia akan tumbang jika saja seseorang tidak hadir menyekal pundak dan merangkul tubuhnya.

Dara mengangkat kepala untuk melihat siapa yang datang. Samar-samar ia melihat Fauzan--sang suami yang mungkin baru saja masuk ke dalam rumah.

"Ada apa?" tanyanya yang tak dijawab oleh Dara.

"Kamu sakit?" Pria itu kembali melontarkan pertanyaan.

"Sayang?" tanyanya lagi dengan raut wajah khawatir.

Dara menggelengkan kepala cepat. "Kamu gak pernah tahu apa yang terjadi sama anak-anak kamu," ucapnya lirih.

Fauzan terkejut dengan ucapan istrinya yang tersirat rasa kecewa yang begitu dalam.

"Di mana tanggung jawab kamu sebagai papa?! Kamu gak pernah berusaha buat Rea dan Zio. Saya dan Vano yang berusaha buat mereka berdua. Sedangkan kamu? Dari dulu juga kamu gak pernah ada buat aku dan mereka bertiga!" Tanpa sadar emosi Dara meluap. Ia melampiaskannya pada sang suami.

"Kamu sadar? Bisa jadi Rea dan Zio kayak gini karena mereka kurang kasih sayang dari kamu. Zio ngikutin cara kamu berperilaku. Mereka berdua gak pernah ngerasa diberi waktu sama kamu. Akhirnya mereka saling asing. Mereka sama-sama susah diatur, dan kamu gak pernah peduli untuk itu!" Semua yang dilontarkannya keluar begitu saja tanpa dipikirkan. Ia sedang marah, ia merasa bersalah. Namun ia juga ingin menyalahkan orang lain.

"Sekarang kamu puas lihat mereka berdua jadi anak pembangkang?!" tanyanya masih dengan amarah.

"Dara! Rendahkan suaramu!" Fauzan tak suka mendengar suara lantang dari istrinya.

Dara berhasil dibuat menunduk, ia mulai sadar atas apa yang telah ia ucapkan.

Fauzan memilih untuk membawa tubuh sang istri ke dalam pelukannya. "Dara, saya memilih kamu karena saya percaya kamu bisa."

"Aku gak bisa sendirian." Dara berucap lirih.

Fauzan mengusap lembut pucuk kepala Dara. "Kamu sudah melakukannya. Dan maafkan saya. Saya akan memperbaikinya."

Tanpa keduanya sadari, Rea dan Zio memerhatikan dari ruangan berbeda. Mereka berdua sama-sama memilih diam. Tak berani ikut campur karena hubungan satu sama lain dari keluarga itu yang berantakan.

@reeiyra
• Rabu, 05-05-2021.
• re-publish: Rabu, 21-06-2023.

Diamond & CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang