D & C: [20]

236 11 31
                                        

Helaan napas terdengar setelah beberapa menit lalu ia kebut-kebutan di jalan raya. Ara menghentikan motornya dan segera menghubungi Rea yang tak mengangkat panggilannya.

Mengedarkan pandangan ke arah jendela kamar Rea, ia melihat sahabatnya itu yang langsung menutup gorden jendela.

Tahu akan menghampiri, maka Ara memilih memasukkan ponselnya ke dalam saku baju sambil menunggu Rea yang akan datang ke hadapannya.

Benar saja. Tak lama setelah itu, Rea benar-benar memunculkan diri dengan raut wajah sendu. Ara yang awalnya ingin mengoceh, kini ia berusaha untuk menjaga ucapannya.

"Udah siang ini, Re. Cepetan naek," perintahnya yang dituruti oleh Rea.

Motor itu dilajukan ke jalan oleh Ara yang memaksimalkan kecepatan. Di belakang Rea ingin berprotes, tetapi serasa tak ada tenaga untuk itu. Menyadarinya membuat kening Ara berkerut. Biasanya Rea akan langsung memberikan pukulan ringan.

Tidak mau terlalu memikirkan karena sadar jika mereka tengah dikejar waktu, maka Ara masih melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

Kurang lebih sepuluh menit lamanya mereka menghabiskan waktu di jalan raya. Hingga akhirnya mereka sampai di depan gerbang sekolah SMA N 3 Harapan.

Keduanya dibuat membuka mata ketika sadar bahwa pintu telah ditutup. Ara mengambil ponsel untuk melihat jam. Ternyata sudah sekitar tiga menit lalu ia terlambat. Ah, rasanya ingin berprotes berteriak. Padahal, ia sudah berusaha mengurangi keterlambatan yang kini dialami.

"Pak! Buka!" teriak Ara tanpa ragu, "Pak Satpam!" Matanya sambil melirik ke sana-ke mari mencari keberadaan seorang pria yang bertugas sebagai penjaga gerbang.

Senyuman dari wajah Ara merekah ketika seorang pria datang dan membukakan gerbang untuknya dan juga Rea. Kehadiran Pak Cukis yang tia-tiba justru mendatangkan hawa panas-dingin.

"Kenapa atuh bisa kesiangan gini, Neng Ara?" tanya Pak Satpam itu.

"Biasa, Pak. Tadi semaleman bergadang buat nugas," jawabnya, "makasih, Pak." Ara juga memberikan ucapan terima kasih saat dirinya sudah masuk.

Pak Cukis langsung menghampiri keduanya tanpa ekspresi. Terutama saat matanya memandang Rea. Bagaimana bisa muridnya yang satu ini kembali membuat kesalahan?

"Rea, kemarin ibu kamu dipanggil ke sekolah karena nilai kamu jelek, penampilan sama pakaian gak sesuai yang sekolah tetapkan. Sekarang kamu buat ulah lagi?" Pak Cukis menggelengkan kepala heran.

"Sekarang kamu, Arabella. Pasti kamu diajak sama Rea. Kamu ini murid berprestasi juga, gak pernah bikin masalah. Semenjak bapak perhatiin kamu emang deket sama Rea, akhirnya kamu kebawa kelakuan Rea yang jelek, 'kan?"

"Loh, Pak. Emang saya yang salah, kok. Bapak jangan asal nyalahin, dong." Ara mengelak tak terima.

"Banyak yang terjerumus karena cara berteman. Yang baik akan membawamu baik, dan sebaliknya," tutur Pak Cukis yang tak digubris oleh siapa pun.

"Karena keterlambatan kalian yang belum terlalu jauh, kali ini bapak meminta kalian untuk membuang sampah yang ada di tong sampah untuk membuangnya ke belakang. Sepanjang kelas lorong itu saja," ucapnya menunjuk ke arah beberapa kelas, "jika sudah, kalian boleh ke kelas. Silakan."

Mau tak mau Rea dan Ara menuruti saja. Cukup ringan daripada harus berdiri sepanjang jam pelajaran sampai istirahat tiba.

~~~

Ucapan dari Pak Cukis tentu membuat Rea kembali merasa bahwa dunia memang selalu ingin melukainya. Sungguh, meskipun ia berteman dekat dengan Ara, tak pernah sekalipun niatnya mengajak atau memengaruhi Ara agar bisa seperti dirinya. Ia yang malas-malasan, jarang mengerjakan tugas, penampilan berantakan. Semua pandangan jelek itu tak ingin sampai Ara ikut-ikutan.

Diamond & CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang