D & C: [14]

221 15 10
                                    

Memang benar, tak ada yang perlu dinomersatukan karena yang akan selalu ada sudah pasti ibu.

Saat baru saja pulang sekolah, Rea melihat ibunya tengah merapikan pakaian sambil menonton televisi sendirian. Kesibukan Rea, Zio, Vano, sekaligus Fauzan membuat Dara hanya sendirian di rumah. Rea kadang takut jika ibunya sampai merasa kesepian, makanya saat malam ia lebih memilih untuk ikut menonton televisi daripada belajar atau mengerjakan PR. Ya, meski berbohong adalah satu-satunya jalan.

Tadi Rea meminta agar ibunya bisa datang ke kamar. Tanpa bertanya apa pun, sang ibu mengangguk dengan senyuman tulus.

Kini Dara sudah masuk ke dalam kamar putrinya yang kini tengah duduk di sebuah kursi dekat piano.

"Ibu, Rea mau mainin piano. Ibu lihatin ya," ucap Rea yang diberikan anggukan semangat oleh Dara.

Jemari Rea mulai memainkan piano. Memindahkan jari dengan lihainya sambil melantunkan lagu dalam hati. Ia memilih lagu "Sekuat Hatimu" dari Last Child. Makanya Rea bermain dengan sepenuh hati sampai Dara mengenali lagunya dan berhasil dibuat tersenyum.

Kurang dari satu menit lamanya iringan musik itu berjalan, Dara memberikan tepukan tangan saat Rea berhenti bermain. Ia sontak menghampiri dengan wajah penuh kehangatan.

"Anak ibu hebat banget mainin pianonya. Ternyata diam-diam kamu belajar ya sampe bisa bagus gitu." Dara memberikan pujian.

"Rea cuma suka aja. Kan waktu itu ibu beliin ini karena Rea yang maksa minta. Padahal ini mahal, ya. Rea ngebebanin banget," ujarnya merasa bersalah.

Ia meminta piano saat kelas tujuh SMP. Harusnya sudah tahu bahwa permintaannya tidak harus selalu dituruti. Namun karena waktu itu ia habis selesai melihat video seseorang tengah memainkan piano, Rea jadi ikut-ikutan ingin bisa. Niatnya tidak serius. Hanya di saat bosan Rea akan mencoba memahami dan memainkan alat tersebut.

Sekarang inilah hasilnya. Rea sudah bisa meski dengan cukup waktu lama untuk membuahkan hasil. Bahkan Rea tidak tahu bahwa ia tengah berproses.

"Bukan ibu yang beli. Tapi papa kamu," balas Dara menenangkan.

"Papa?" tanya Rea sedikit tak percaya. Rea tahu papanya jarang membuka suara tentang bagaimana keluarga itu berjalan, jarang membuat waktu untuk keluarganya bahkan ibunya. Ya, cukup terkesan dingin dan Rea pernah berpikir bahwa papanya nampak tak peduli.

"Iya. Alhamdulillah waktu kamu minta, tiba-tiba papa kamu punya pekerjaan," jawab Dara.

"Iya? Berarti papa emang niat mau menuhin kemuan Rea, ya?" Rea tersenyum berbalut hati yang haru. Tak pernah terpikirkan bahwa papanya seperti ini.

"Alhamdulillah," jawab Dara.

"Inget banget waktu itu Bang Vano masih SMA. Kelakuannya bandel awal kelas sepuluh. Tapi pas mulai masuk ke kelas dua belas, tiba-tiba dia tobat sampe ngejar prestasi sana-sini. Nyibukin diri di ekskul yang dia minati. Sampe dia jadi juara umum. Pernah juara olimpiade dan ngasih hadiahnya buat ibu." Cerita dari sang ibu justru membuat Rea minder. Melihat Vano dan Zio, mereka sudah bisa membanggakan kedua orang tuanya. Sedangkan dirinya?

Rea diam tak tahu harus berucap seperti apa.

"Sekarang Bang Vano udah kuliah. Aktivitasnya lebih sibuk. Kamu sama Zio juga sibuk sekolah. Ibu sendirian di rumah," ucapnya dengan tawa pelan.

"Ibu pasti kesepian, ya? Rea gak apa-apa kok kalo ibu mau bikinin Rea adik. Pasti lucu." Rea berucap dengan polosnya.

Dara terkekeh pelan. "Ibu tunggu Bang Vano nikah aja."

"Emang udah ada calonnya, Bu?" tanya Rea.

"Nggak tahu. Bang Vano jarang cerita tentang hubungannya. Mungkin mau fokus kuliah sama ngurusin kamu sama Zio," jawab Dara. Yang ia dengar biasanya tentang aktivitas kuliah, tugas kuliah, atau tentang kedua anak kembarnya. Jarang sekali Vano membahas hubungan dengan seorang gadis.

Diamond & CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang