Bab Empat Belas

5.2K 369 3
                                    

Hujan mengguyur Jakarta cukup deras. Lalu lintas kini sedikit melenggang akibat peristiwa alam tersebut. Tetapi aktivitas yang biasanya terjadi tetap berjalan seperti biasanya meskipun terganggu dengan air dari langit itu.

Aretha memandang rintikan air hujan dengan pandangan lurus ke depan. Mungkin jika tidak hujan dirinya akan terlambat karena sekarang sudah pukul 07.30.

"Kok ngelamun terus, Dek. Mikirin apa?" tanya Rio.

Aretha menolehkan kepalanya hingga matanya terfokus ke arah Rio yang sedang menyetir mobil.

"Kak ...."

"Kenapa?"

"Nggak tau! Aretha bingung!" ucap Aretha frustasi. "Gimana sih ngeluluhin hati cowok kalo lagi marah?"

"Rafa marah?" tanya Rio mengulangi.

Hening. Tidak ada jawaban dari mulut adiknya. Berusaha kembali, Rio masih gencar bertanya tentang masalah yang membuat adiknya berbeda akhir-akhir ini.

"Rafa marah?"

"Ih, nggak tau!" teriak Aretha. Rio sampai dibuat terperanjat ketika suara lengkingan itu keluar dari mulut adiknya.

"Kamu ini kenapa? Di tanya ada masalah, nggak jawab. Di tanya Rafa marah, malah teriak. Kamu itu pengen apa? Kakak nggak bisa baca pikiran kamu kalo kamunya nggak ngomong," ucap Rio.

"Kita kayaknya putus deh, Kak."

"Kok kayaknya? Memang kronologinya gimana?" tanya Rio.

"Ya ... kita bertengkar, terus dia bilang gini, 'putus?' terus Aretha jawab 'oke kalo itu mau kamu'. Itu putus bukan?"

Aretha mengacak-acak rambutnya bingung. Sebenarnya yang susah untuk dipahami itu Rafa ataukah dirinya?

"Mungkin bisa di bilang putus, Tha. Tapi ya ... tergantung persepsi kalian berdua. Lagian kok bisa putus? Rafa baiknya kayak gitu. Pasti dia nggak kuat lihat kecerewetan kamu yang ngalah-ngalahin ibu komplek."

"Ih! Kak Rio rese banget! Adiknya sedih bukannya dihibur malah diledekin!"

Aretha menarik sebelah pipi Rio dengan sangat keras. Untung hujan masih melanda kota, jika tidak mana mungkin Aretha berani melakukan hal demikian. Bisa melayang nyawa mereka berdua.

"Kamu ini! Kerjaan kok main fisik. Pantes Rafa nggak suka," ucap Rio membuat Aretha menatap tajam kakak kandungnya itu.

"Kakak!"

"Udah sana! Kamu turun, udah sampai itu." Rio mengambil sesuatu dari bangku penumpang.

"Aku berangkat dulu, Kak. Makasih udah mau anterin, i love you!"

Pergerakan Rio yang hendak mengambil jaket untuk adiknya terhenti ketika Aretha mencium pipinya sekilas. Sudut bibirnya terangkat, dan kesadarannya mulai terampas oleh alam khayalan. Adiknya kini sudah besar hingga ia tahu pahitnya jatuh cinta kepada lawan jenis. Tetapi meskipun demikian, gadis itu tetaplah gadis kecilnya yang selalu menangis ketika permen yang gadis itu punya, ia ambil dan kemudian menangis.

"Hati-hati, Kak!" seru Aretha.

"Jaketnya, Tha!" teriak Rio sambil menurunkan kaca mobil. "Ini hujan!"

"Terlambat! Tapi nggak papa, aku suka hujan."

Ia tersenyum samar. Setelah punggung Aretha kian menjauh, baru Rio kembali menjalankan mobilnya dan menuju ke kampusnya untuk mengejar cita-cita. Ah, ataukah wanita?

Langkah kaki Aretha yang semula berlari kecil, seolah langsung terhisap oleh gravitasi, ketika sebuah pertunjukan pagi yang sama sekali tak pernah terlintas di otaknya. Lidahnya kelu, matanya terkunci, serta tubuhnya terdiam menikmati rintikan air hujan hingga membuat seragamnya basah.

My Perfect Hubby (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang