Bab Dua Puluh Empat

5.2K 317 13
                                    

Aretha mengerjapkan matanya berkali-kali. Kepalanya berdenyut dan pandangannya kini memburam. Gadis itu meringis ketika sakit di kepalanya kian menjadi.

"Hei, ada yang sakit?"

Rafa mengusap kepala Aretha dengan wajah cemas. Aretha menggelengkan kepalanya pelan. Entah kenapa dirinya bisa berakhir pingsan hanya karena melihat orang bertengkar.

"Aretha maaf." Hani menggenggam erat tangannya dengan wajah menyesal. Jika tahu akan terjadi seperti ini, dirinya tidak akan ke toilet.

Seakan ingat bahwa terakhir kali dirinya bersama seseorang Aretha langsung mendudukkan badanya, membuat Rafa menatap tajam gadis itu.

"Ghisa, Ghisanka mana?" tanya Aretha sambil mengedarkan pandangannya ke segala penjuru UKS.

"Di ruang BK," jawab Rafa sekenanya.

"Papa sama Papanya Kak Rafa dipanggil, terus orang tuanya kakak kelas senioritas juga dipanggil. Denger-denger mau di keluarin."

Rafa langsung menatap tajam ke arah Hani membuat nyali gadis itu langsung menciut. "Rafa!"

"Kenapa?"

"Anterin aku ke BK."

"Mau ngapain?!" tanya Rafa tak habis pikir. "Biar Papa yang nyelesein."

"Han, bantu gue turun."

Ketika Hani hendak memegang lengan Aretha, Rafa langsung menahannya. Laki-laki itu langsung menggendong Aretha dan mendudukkannya di kursi roda. Setelah kepergian kedua sejoli itu, Hani langsung mengelus dadanya dan bernapas lega.

"Untung-untung Kak Rafa tadi nggak jahatin gue tadi. Matanya udah kaya leser memang itu cowok."

—oOo—

"Sampai kapan pun saya tidak akan bisa memaafkan kelakuan mereka, Pak! Anak saya hampir celaka di sini. Jika Bapak tidak mengeluarkan mereka, saya tidak segan-segan melaporkan anda karena membela yang salah."

Samar-samar Aretha mendengar suara Papanya ke dalam indera pendengarannya. Rafa mengetuk ruang kepala sekolah, kemudian membawa masuk kursi roda Aretha.

"Gimana keadaan kamu sayang?" tanya Mahendra dengan raut wajah khawatir.

"Aretha nggak papa, Pa." Aretha tersenyum sekilas. Pandangan matanya kemudian teralihkan ke arah ketiga kakak kelasnya yang masih saja menatapnya sinis.

"Nggak bisa seperti ini, Pak! Bagaimana pun juga Salma dan teman-temannya tidak bisa di DO begitu saja. Masalah pertengkaran anak remaja itu wajar. Seharusnya orang tua jangan ikut campur," jawab salah satu orang tua kakak kelas Aretha.

"Pertengkaran ya pertengkaran! Tapi ini main fisik, lho! Lihat pipi anak saya, anak anda tampar sampai merah. Belum lagi anaknya Bapak ini. Anak Bapak bisa kami bawa ke pihak berwajib jika masih membelot seperti ini!"

Dari pengamatan Aretha, itu adalah ayah dari Ghisanka. Seseorang yang mengaku membencinya, tetapi malah membelanya tadi.

"Tenang dulu, Bapak-bapak. Sekarang, kita selesaikan dengan kepala dingin. Kita punya cctv, jika memang anak Bapak bersalah. Dengan berat hati kami akan mendrop out mereka berdua. Karena salah satu dari mereka belum banyak namanya di buku merah."

"Pak, saya saksi di sini. Bukti juga ada. Mereka dorong Aretha, dan hampir nampar Aretha. Hati mereka itu di mana?! Udah tau Aretha nggak bisa jalan, masih aja di tindes. Dulu aja menciut nyalinya, giliran lawannya lemah baru di giles. Dasar pengecut!"

My Perfect Hubby (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang