06. King Lear

209 26 9
                                    

"Apa mungkin, Surya Ferista bukan korban sebenarnya?"

Mereka terdiam, hingga suara ketukan pintu mengalihkan mereka.

"Lapor Iptu! Intel tidak mau membantu kita!" lapor Dan setelah memasuki ruangan itu.

Tama berdecak pelan, dan bergumam, "Anak itu ...."

"Oke, biar nanti gue yang hubungin sendiri. Kalian boleh pulang," ujar Tama meraih jaket dan kunci mobilnya sebelum melangkah keluar.

Keempat orang itu lantas menghela napas pelan. Klaud berdecak, "Anak itu, mau bikin masalah apa lagi?!"

Evan mendengkus geli seraya menggeleng pelan kemudian berujar, "Biarin itu jadi urusannya sama pak Iptu, saja ...."

Tama melepas jaket yang digunakannya, meletakkan asal pada jog mobil bagian penumpang. Dia meraih ponsel, mencari sebuah nama pada kontaknya dan melakukan panggilan, setelah memasang handsfree pada sebelah telinganya.

Sudah dering ketiga, panggilannya belum juga diangkat, lantas Tama mendengkus pelan. Tama kembali melakukan panggilan, sembari menunggu dia mulai menyetir mobil keluar dari area basement.

"Apaan sih Om!" kesal suara dari seberang telpon membuka pembicaraan mereka.

Tama berdecak pelan. "Berapa kali gue bilang, jangan manggil gue 'Om'! Gue belum setua itu dan masih punya sixpack!" maki Tama juga dengan kesal.

Terdengar suara decakan dari seberang panggilan, Tama yakin anak itu sedang memutar mata dengan malas sekarang.

"Oke-oke Kak Pratama, Kak mau lo tuh apa sih?! Lo kan juga bisa nyari orang itu sendiri, kalau sekadar buat nyari identitas orang lo kan punya kemampuan, buat apa butuh bantuan gue?!" kesalnya.

Tama terdiam dengan raut datar, namun dengan pandangan yang tetap fokus pada jalanan. "Setahun yang lalu, ada orang yang bilang kek gini dengan melasnya, 'Kak Tama, Kak Tamaa ... kalau Kakak dapat kasus yang ada hubungannya dengan teknologi-teknologi gitu atau cyber kasih tau Len aja yaa, biar Len ngerjaiin!' dan sekarang, orang itu kemana yaa?"

Di seberang sana, gadis dengan rambut sepunggung itu menggigit kuku antara kesal, sedikit cemas, atau mungkin terlalu bersemangat -—-hingga tidak mau menganggu kesenangan orang lain(?).

Netra coklat gelapnya, mengamati foto wanita paruh baya pada layar hologram di hadapannya. "Bukannya gimana, keknya gue nggak bisa ikut campur terlalu dalam," gumamnya yang masih dapat didengar oleh Tama.

Kening Tama mengerut dan bertanya, "Kenapa?"

"Pokonya gue nggak mau ikut campur, hal ribet kayak kasus lo ini! So, selamat bersenang-senang ...."

Tutt ....

Sambungan telepon yang dimatikan sepihak, lantas membuat Tama kembali mendengkus dengan kesal. Disetirnya mobil itu memasuki basement apartemen yang ia tinggali, kemudian melangkah keluar -—-tidak sabar mengecek sendiri hal apa yang membuat gadis yang gila akan teknologi itu, tidak mau ikut campur.

Setelah beres-beres, lengkap dengan secangkir cappuccino di tangan, Tama membuka kamar yang di dalamnya terdapat beberapa komputer dengan benda elektronik lainnya.

Sembari mendudukkan diri, ditariknya laci meja dan meraih sebuah rokok elektrik. Tama menghembuskan napas, membiarkan asap-asap dari benda itu bertebaran di udara kemudian memasukkan foto ibu dari Adel pada alat berbentuk persegi, dengan posisi berdiri.

"Bellianda Sevara ...." gumamnya dengan jari-jari yang menari di atas keyboard.

Subject not found.

Senandung Kematian [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang