04. Kasus sebenarnya

249 27 4
                                    

"Lo, tau sesuatu?"

Mengabaikan pertanyaan Adel, Axel yang masih terlihat menatap kosong pada Tama kembali bertanya, "Boleh?"

Tama mengangguk. "Ikuti saya!" pintanya. Axel dan Adel pun lantas mengikuti langkah Tama.

"Jangan terlalu dekat," ucap Tama mengingatkan, saat mereka berada satu meter dari tempat itu. Tepat di samping kode-kode itu, terdapat jasad pembantu rumah Adel, terbaring kaku berlumur darah.

Adel mengernyit menahan ngeri, sementara Axel mengangguk dan mulai melangkah setengah meter lebih dekat, kemudian berjongkok. Ditatapnya beberapa saat dengan cermat, kode dengan bercak darah seraya mengerutkan kening.

Sesekali netranya melirik pada luka di tubuh pembantu rumah tangga itu, melihat sekeliling rumah yang terlihat berantakan, lalu otaknya mulai menganalisis.

"Sama, dan ternyata dugaan gue udah bener ...." lirihnya setelah terdiam beberapa saat dan menghela napas pelan, lalu kembali mendekati mereka yang menatapnya dengan penasaran.

Axel berdeham sekali dan bertanya, "Bagaimana dengan lantai dua?"

Tama menghela napas pelan. "Kamu bisa lihat sendiri," balas Tama pelan sambil menolehkan kepala ke arah tangga menuju lantai dua.

Axel mengangguk, melangkahkan kaki menyusuri tangga yang nampak biasa-bisa saja, lalu sampai di lantai dua.

"Kami sudah menyisir lantai dua, tapi tidak ada hal apapun terkait tersangka, yang kami temukan," ujar Tama dari lantai bawah, namun masih dapat di dengar oleh Axel dengan jelas.

Axel mengangguk sekali lagi, matanya bergerak bagaikan mesin scanner di lorong lantai dua itu. Terdapat tiga kamar dengan masing-masing pintu, yang tertutup rapat. Tidak ada tempat kosong, karena kehilangan suatu benda di sana.

Jelas bukan perampokan bersenjata, ini murni kasus pembunuhan, pikir Axel.

Lagi, lantai dua tetap rapi seakan tidak di sentuh sama sekali, sangat berbeda dengan lantai satu. Jari Axel menyusuri meja nakas dengan beberapa bingkai foto, di sana. Hingga sebuah hal janggal sedikit mengganggunya.

Lantas dia berjongkok, melihat pada lantai yang tepat berhimpitan dengan dinding, kemudian menaikkan sebelah alisnya.

Dia mengambil saputangan dari sakunya, dan salah satu kaki bingkai dengan panjang 15 cm untuk dijadikan sebagai tongkat agar dapat meraih beda di sana.

Berhubung jika hanya menggunakan tangan kosong, bisa saja Axel menghilangkan jejak bukti dari benda itu -—jika memang ada-— lagi pula tangannya jelas tidak muat melewati sela antara dinding dan nakas itu.

Kemudian dapat.

Sebuah kalung dengan liontin bulan sabit, kecil dari emas putih. Entah itu benar dari emas putih atau mungkin hanya sebatas besi, logam, bahkan stainless semata. Axel tidak tahu jenisnya, yang jelas kalung itu berwarna silver.

Axel kemudian kembali ke lantai satu, dia menunjukkan kalung itu masih dengan melapisi tangannya dengan saputangan.

"Del, ini punya lo?" tanya Axel membuat Adel dan Tama melihat kalung itu, dengan seksama.

Adel menggeleng pelan. "Bukan, gue nggak suka pake kalung," balasnya. Axel mengangguk, dia pun menunjukkannya pada Tama.

"Di mana kamu menemukannya?" tanya Tama dengan kening sedikit berkerut.

"Sela nakas dengan banyak bingkai foto, di dekat dinding," jelas Axel dengan lugas. Adel tersentak sebentar, dia mungkin tahu siapa pemilik kalung itu.

Senandung Kematian [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang