27. Sastra Jerman

100 15 8
                                    

Hari ini, pelajaran sastra Jerman masuk pada jam terakhir di kelas XI MIPA 1. Guru kisaran kepala tiga berdiri di hadapan papan tulis, menjadi pusat perhatian para muridnya. Sebuah nama tertera pada name tag wanita itu.

Calia Schpyre.

"Nah, murid-murid apa kalian paham?" tanyanya menggunakan bahasa Jerman, seraya menoleh pada murid-muridnya.

"Ja, Frau Schpyre!"

Calia tersenyum tipis, dan mengagguk. "Baiklah, sekian untuk pertemuan hari ini, und guten tag!" pamitnya setelah membereskan buku-buku miliknya, dan melangkah keluar.

Axel meregangkan otot, duduk selama tiga jam pelajaran benar-benar membuat sendi dan otot-ototnya terasa kaku. Dia kemudian menoleh pada Adel, yang berada tidak jauh —kebetulan, sistem duduk mereka adalah bangku tunggal.

"Del! Habis ini lo, mau kemana?" tanya cowok itu bertopang dagu, melihat Adel yang memasukkan alat tulisnya ke dalam tas.

Adel menoleh setelah menutup ritsleting tasnya, kemudian mengedikkan bahu. "Emang boleh, gitu?"

Axel menaikkan sebelah alis, dan tersenyum. Rupanya cewek itu tidak tahu, pikirnya. "Bisa kok, asalkan lo izin sama kepala asrama dan pulang di atas jam lima sore."

Adel berdiri memakai ranselnya. "Bagus, gue harus ke dojang. Mau ikut?" tawarnya pada Axel, lantas cowok itu menatap dengan tertarik.

"Lo belajar taekwondo?"

Adel mengangguk. "Ya, selama ini sih gue belajarnya diam-diam aja, soalnya lo tau ayah gue dulu gimana. Sekarang, keknya gue bisa lebih terang-terangan," ucapnya pelan pada kalimat terakhir, dengan sebelah sudut bibir yang sedikit terangkat.

Axel mengangguk-angguk paham. "Sekarang, lo udah di tingkat sabuk apa?

Adel tersenyum lebar, dia mengacungkan jari jempol, telunjuk, dan tengahnya. "Taegeuk 8, hebat kan gue. Gue bisa lolos dari ayah gue, sampe bisa belajar taekwondo sampe taegeuk delapan!"

Axel terkekeh, dia bertepuk pelan dan bangkit dengan tas yang diselempangkan. "Yok! Gue ikut!" serunya merangkul bahu cewek itu, yang langsung mendapat tatapan risi dari sang empu.

"Udah lama juga gue nggak gerak, terakhir kali waktu sama ayah gue ...." Dia tersenyum kecil, mengingat kenangan kecilnya.

Adel mengerutkan kening, menatap menyipit pada Axel setelah menepis lengan cowok itu. "Katanya lo lupa ingatan, itu lo bisa ingat kenangan lo sama ayah lo!"

Axel kembali dibuat terkekeh, dia mengacak rambut Adel gemas. "Iya gue emang lupa, tapi yang gue lupa itu kenangan buruk gue sama si Humpty dumpty."

Dia kemudian mengedikkan bahu, seraya memasukkan tangannya pada saku celana. "Kalau yang bagus, gue masih ingat kok. Dan beberapa, juga balik belakangan ini ...." ucapnya pelan, sambil menatap langit biru di atas mereka.

Diam beberapa saat, keduanya sama melangkah dengan pelan menjauhi kelas, hingga berdeham pelan. "Gue, mau izin dulu sama kepala asrama cewek. Kalau lo mau ikut, ketemu diparkiran aja ...." ucapnya kemudian berlalu, meninggalkan Axel yang menghentikan langkahnya dengan senyum tipis.

Dia menghela napas pelan, melihat layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Humpty dumpty. "Padahal, gue mau bahas ini," gumamnya pelan. "Nanti aja kali ya?" sambungnya mempertimbangkan dan kembali menyimpan ponsel itu.

***

Sebuah senandungan pelan terdengar dari ujung koridor lantai dua, di depan sana seorang wanita melangkah dengan perasaan tidak enak. Dia merasa, seseorang mengikutinya dari belakang, sesekali dia menoleh namun tidak menemukan siapapun.

Senandung Kematian [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang