25. Sayap

105 18 0
                                    

"Sudah mama bilang, mama nggak suka sama dia! Pokonya mama nggak setuju, kamu sama dia!" seru dan tunjuk seorang wanita kisaran kepala tiga itu, pada perempuan yang duduk dengan kepala menunduk di samping putranya.

Dekana Erisko, pemuda yang mungkin sudah memasuki semester tengah dunia perkuliahan itu mengeratkan genggamannya pada perempuan agak 'ke jerman-jermanan' di sampingnya, dan mata menatap pada sang ibu menantang.

"Mama nggak perlu suka, Deka yang bakal nikah sama dia, Deka yang bakal jalanin hidup sama dia, bukan Mama! Jadi Deka sama sekali nggak bermaksud buat minta persetujuan Mama," jedanya kemudian mendengkus sinis dan menyodorkan sebuah undangan pernikahan yang dihias elegan.

Di sampulnya terdapat kedua nama mempelai.

Dekana Erisko dan Yvonna Porsha

"Deka cuman mau ngasih tau, minggu depan Deka bakal nikahin Vyne," ucapnya kemudian bangkit dari duduk, seraya mengulurkan tangan pada Yvonna.

Yvonna mengangkat wajah takut-takut, tapi Deka mengangguk meyakinkan bahwa mereka sudah melakukan hal yang tepat.

Cemas, Yvonna menggigit bibir kecil. Dia merasa tidak enak pada ibu Deka, karenanya hubungan ibu dan anak itu merenggang.

"Ayo!" seru Deka, membuat gadis itu tersentak dan mau tidak mau mengangguk menuruti.

"Tidak!" seru Calia Schpyre —ibu Deka.

Mereka yang sudah hendak melangkah keluar terhenti, Deka hanya memutar mata malas dan menoleh pada Yvonna dengan senyum tipis hendak kembali melangkah.

"Satu langkah lagi, atau mama nggak bakalan ngeanggap kamu anak lagi!"

Deka tersenyum sinis, memutar tubuh mengahadap sang ibu. "Cih, ternyata semudah itu Anda memutuskan sebuah hubungan keluarga," sarkas Deka dengan menekan kata 'Anda' pada kalimatnya, seraya melangkah mendekati sang ibu.

Dia mengedikkan bahu tidak peduli. "Nggak masalah, toh saya juga bukan anak kandung Anda," ucapnya memasang seringai.

Calia sempat dibuat terpatung, hingga kalimat berikutnya bagaikan ultimatum yang ditembakkan dengan sangat tepat sasaran padanya.

"Dan ya, mungkin menurut Anda hal seperti itu sama mudahnya dengan cara Anda, mencampakkan perasaan saya, hanya karena pria itu. Benarkan, Mama ...."

***

"Nah Adel, ini kunci kamarmu selama di sini. Ini buku peraturan yang harus kamu patuhi, ini buku paket pelajaran wajib, dan dia adalah teman sekamarmu." Ma'am Widya menjelaskan dengan senyum tipis, setelah menyerahkan beberapa buku, sebuah kunci, dan menunjuk seorang gadis dengan rambut sepunggung yang berdiri tepat di sampingnya.

"Oh iya, sebagian barangmu sudah sampai di asrama. Selalu ingat peraturan pertama, jangan keluar asrama setelah pukul delapan, dan kedua jangan melewati batas asrama perempuan dan laki-laki," dia mengingatkan, kemudian menoleh pada gadis di sampingnya dengan senyum.

"Len, kamu bisa antar teman sekamarmu?"

Gadis itu nampak mendengkus pelan, kemudian mengangguk. "Ikut gue."

Lalu tidak lama kemudian mereka sampai di kamar asrama keduanya. Len menatap Adel datar kemudian berkata, "Itu kamar lo, dan jangan ganggu gue."

Dalam satu kamar asrama diisi oleh dua orang, dan terdapat dua kamar dengan masing-masing kamar mandi. Tidak seperti kamar asrama pada umumnya, yang punya ranjang tingkat dan antrean hanya untuk ke kamar mandi. Di luar kamar itu terdapat satu dapur kecil, dan satu meja komputer —tentu saja dengan komputernya— di sudut ruangan.

Senandung Kematian [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang