21. Dia kembali

99 22 0
                                    

Langkah kecil gadis itu kian menjauh, menapaki lantai marmer tanpa alas kaki berupaya menjauh dari langkah seorang pria yang menatapnya bagai singa yang siap menerkam mangsa. Napasnya makin memburu, dia memasuki kamar dan mengunci pintu dengan tangan kecilnya.

Air mata yang meluruh, kini bercampur dengan keringat dingin yang semakin bercucuran. Adel, meringkuk ketakutan di sudut kamar yang gelap ketika gedoran dibalik pintu semakin menjadi.

"Hahh ... tunggu sebentar, gadis manisku tersayang. Kamu pikir, hanya dengan mengunci pintu kamar seperti itu akan mencegahku menjamahmu, menikmati tubuh cantik dan menggodamu itu?!"

Orang itu tertawa, Adel yang mendengarnya kian gemetaran. "P–pergi! A–aku akan mengatakannya, pada ibu!"

Sejenak tidak ada respons, mungkin pria itu sudah berubah pikiran. Begitulah pikir Adel yang saat itu tepat berumur enam tahun.

Namun, tidak lama kemudian, bunyi pintu yang baru saja dibuka dengan kunci serep dari luar terdengar.

Matanya terbelalak, ketika pria yang merupakan ayah sambungannya itu melangkah masuk dengan seringainya. Adel membekap mulut, untuk tidak bersuara sedikitpun. Dia merangkak, menuju kolong tempat tidur dan bersembunyi dengan posisi telungkup.

Pundaknya bergetar karena isakan, dan rasa takut yang luar biasa. Adel dapat mendengar, jika ayah keduanya itu tengah membuka kamar mandi, mungkin mengecek keberadaannya di sana.

Lalu kemudian tertutup. "Anakku sayang, jangan takut dengan Papa. Kalau kamu mau tahu, Papa ini sangat menyangimu loh! Ayolah, kamu pasti sudah tahu kalau Papa akan selalu kalah, dalam permainan petak umpet denganmu ...."

Adel pada dasarnya memang pintar dan cerdas, untuk anak seusianya. Bayangkan saja bagaimana perjuangannya, sejak pandai mengenal huruf dan angka tepat di usianya tiga tahun?

Jelas dia tahu maksud dari perkataan dan tindakan ayah keduanya itu, dia banyak membaca. Salah satunya, dari buku sex education yang salah beli oleh suruhan ayahnya, bekat buku itu dia tahu ayah keduanya kini punya niat jahat terhadap dirinya.

Dia membuka ruangan kecil di kamar Adel, itu adalah ruangan dimana Adel selalu dituntut untuk sempurna oleh ayah pertamanya.

"Kamu tidak di sini? Papa kira, anak cerdik Papa ini sedang belajar ...." Suaranya terdengar sedih, setelah menutup ruangan itu.

Dia menghela napas pelan. "Baiklah, Papa pergi dulu. Mungkin kita bisa bermain nanti?"

"Kapanpun itu, ingatlah ini selalu sayang ...."

"Papa, mencintaimu ...."

Adel dibuat merinding seketika, bahkan dibuat memejamkan mata rapat hingga keningnya ikut mengerut.

Setelah itu pintu terdengar terbuka, lalu kemudian kembali ditutup dan sunyi untuk beberapa menit. Setelahnya Adel menghela napas lega, dia melihat sekeliling. Dari pandangannya, semua terlihat tenang.

Dia pun memilih untuk bergerak keluar, saat berada dalam posisi berjongkok menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor karena debu, namun seketika gadis kecil itu dikagetkan dengan bisikan menyapa dari samping telinganya.

"Hai, sayang ...." Papanya, berbaring telungkup di kasur mengecup pipi Adel basah.

Gadis itu terbelalak, dengan tubuh mematung. Napasnya tertahan, dan menoleh pada pria itu yang menatapnya dengan senyum manis. Atau mungkin saja, menyeringai lebar(?)

Adel menelan saliva kasar, bergerak mundur dengan pupil bergetar ketakutan. Sang papa menahan lengan gadis itu, kemudian menariknya hingga terpaut beberapa senti dari wajahnya.

Senandung Kematian [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang