Sunyi. Dejan dan Jani merasa aneh saat suara lembut yang biasanya selalu didengar oleh mereka sehabis pulang bermain, kini malah absen. Di ruang tengah yang cukup besar itu, hanya terdengar dentingan jarum jam yang menempel di dinding.
Tidak bisa dipungkiri, kedua kakak beradik itu khawatir, juga merasa kalau hatinya sedikit kosong saat tahu Papski tidak menyambut kepulangan mereka, tidak ada suruhan mandi, juga tidak ada rasa khawatir berlebihan yang selalu Papski tunjukkan lantaran kedua putranya yang pulang kesorean seperti ini.
Kakinya terasa lemas. Dalam diamnya, Jani berfikir kalau Papski mulai lelah menghadapi mereka, lelah sebab kekeraskepalaan Dejan dan Jani yang susah diatur.
Kaki yang lemas, dipaksa untuk berjalan, melewati beberapa ruangan untuk sampai di dapur. Kulkas besar dengan isi yang lengkap mulai dibukanya. Air putih dalam botol dituangkan pada gelas lalu ditenggak habis oleh Dejan, tidak lupa buat menuangkan pula untuk sang adik.
Dengan langkah gontai, Dejan dan Jani berjalan menaiki tangga, menuju kamar setelah sebelumnya menaruh gelas kotor pada wastafel untuk dicuci nanti.
Kembali langkahnya terhenti. Pintu kamar Papski ditatapnya lamat dengan debaran yang dirasakan jantungnya. Keduan mendekat, menempelkan tangannya pada kenop pintu, lalu mulai menggesernya pelan. Hembusan napasnya terdengar keras. Si sulung merasa lega saat papski ada di dalam kamarnya. Duduk tegak sambil menghadap jendela.
"Pap, Dejan sama Andy masuk, ya?" Dejan meminta izin, yang anehnya tidak mendapat jawaban dari papski.
Cowok itu mengeryitkan dahinya, merasa aneh. Tanpa jawaban dari Papski, Dejan mendekat, lantas menyentuh bahu tegap itu pelan yang menyebabkan Papski terlonjak kaget lantaran ulahnya, sedangkan Jani berjalan menghampiri jendela, matanya terpukau melihat keindahan di luar sana.
"Eh, kalian udah pulang?" Papski bertanya, terdengar sedikit linglung.
"Ini udah jam setengah enam, Pap," Dejan menjawab.
Papski melirik jam yang ada di sampingnya. Banar saja, jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, dan papski tidak menyadari kalau waktu berlalu begitu cepat, padahal rasanya baru beberapa menit yang lalu dia menikmati keindahan senja.
"Ngapain?" Dejan berjalan mendekat ke arah jendela, berdiri tepat di samping adiknya. Dan hal yang dilihat membuatnya tersentak kaget. Pemandangan matahari yang terbenam dengan semburat oranye dari lembayung seakan menghipnotisnya. Menariknya pada kejadian sewaktu kecil dimana dia sering sekali menyaksikan indahnya hal semacam ini.
Dejan diam ngga berkutik. Tangannya menempel pada kaca jendela. Sudut bibirnya terangkat naik, membentuk sebuah senyuman. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia melihat matahari terbenam. Selama ini, dia terlalu sibuk pada dunia sampai-sampai melupakan fenomena indah seperti ini.
"Bang Dejan?"
Dejan hanya menggumam sebagai jawaban, dia terlalu enggan untuk melewatkan keindahan yang ada didepannya ini.
"Kamu... Udah ada rencana mau kuliah dimana nantinya?"
Tubuh yang tadinya relaks, menegang seketika. Dejan memejamkan matanya perlahan. "Masih lama, Pap."
"Ngga ada salahnya nentuin pilihan dari sekarang, biar nanti kamu ga pusing kalo udah lulus sekolah," Papski memberi wajengan. "Mau kuliah dimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Parent [Nct Lokal]✓
Teen FictionMenjadi single parent? Ngga susah kalau anak yang diasuh kaya Dejan, Reno, Satya sama Jani yang baik, adem ayem dan penurut. Tapi, gimana kalau anaknya kaya Lucky yang rusuh, Mahesa yang panikan, Hendra yang random, Rendra yang emosian, Haikal yang...