Demo

2.2K 305 36
                                    

Pukul empat lewat tiga menit, ayah terbangun dengan Rendra dalam pelukannya. Matanya mengedar ke seluruh penjuru kamar, kepalanya berdenyut pusing, juga pergelangan tangan yang terasa kebas lantaran dijadikan bantal oleh putranya. Kejadian tadi malam masih terbayang jelas dalam otaknya, yang mana membuatnya langsung berlari menghampiri kamar putranya dan memeluk anak itu semalaman.

Ayah bingung sendiri, dirinya harus cepat mandi agar tidak telat untuk solat subuh, tapi Rendra masih tertidur dalam pelukannya. Untuk membangunkan pun ayah tidak tega, putranya tidur begitu pulasnya, ditambah lagi ayah tahu jika anak itu  baru bisa tidur saat sudah pukul dua pagi.

Masih tetap berada pada posisinya, ayah mengesampingkan rasa pegal yang dirasakan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya bergerak untuk mengelus rambut coklat putranya secara perlahan. Seulas senyum tipis terukir di wajahnya, entah kapan terakhir kali mereka tidur bersama, mungkin saat Rendra masih kelas lima sd, itu pun karena anak itu sakit. Ayah tertawa pelan, tidak menyangka jika putra kecilnya sudah tumbuh mejadi sebesar ini, padahal dulu Rendra itu masih setinggi pinggangnya.

Gerakan kepala yang Rendra lakukan berhasil membuat ayah menghentikan usapannya, takut jika anak itu terganggu karenanya. Namun, bukannya kembali tidur, Rendra justru membuka matanya. Kepalanya mendongak dan menemukan ayah yang sedang menatapnya. Senyum manis itu terbit, cowok itu mengeratkan pelukannya pada pinggang ayah. "Pagi, Yah," sapanya dengan suara serak khas bangun tidur. Anak itu menduselkan kepalanya pada dada bidang ayah. Pelukan ayah terlalu nyaman untuk dilewatkan, ia jadi enggan untuk beranjak dari tempat tidur jika begini.

"Pagi anak Ayah," ayah balas menyapa, memberikan kecupan singkat pada kening putranya.

Setelahnya, hening. Rendra yang terlalu nyaman dengan posisinya, dan ayah yang terlalu canggung untuk mengakui jika tangannya begitu pegal. Wajah bahagia sang putra itu adalah segala penawar baginya. Rasa sakitnya seakan tidak dirasakan lagi saat melihat senyum manis itu terbit untuknya. Sampai akhirnya, Rendra melepaskan pelukannya dengan tergesa. Napasnya terengah, raut cemas itu tergambar di wajah tampannya. Tatapan bersalah dilayangkan pada ayah yang kini menatapnya bingung.

"Ayah, pasti pegel ya tangannya?"

Sebelum menjawab, ayah mengubah posisinya menjadi duduk. Masih dengan senyumannya, beliau menggeleng untuk menjawab pertanyaan itu. "Nggak, kok."

Tapi, Rendra tahu jika ayah tengah berbohong. Tidak pegal apanya, orang posisi mereka tidak berubah selama lebih dari dua jam. Dia meringis membayangkannya, jika saja dirinya yang ada di posisi ayah, mungkin dia sudah mencak-mencak karena pegal, tapi ayah tidak melakukannya.

"Maaf, Yah," kepalanya tertunduk dalam, pertanda jika Rendra benar-benar merasa bersalah.

"Nggak boleh ngomong gitu. Kamu gak salah, Ayah juga gak papa."

Sekali lagi, anak itu memberikan pelukan singkat sebelum mereka memutuskan untuk mandi agar bisa segera ke mushola untuk menunaikan solat subuh berjamaah.

Waktu dua puluh menit cukup bagi pasangan ayah dan anak itu untuk bersiap. Rendra yang sudah memakai baju koko juga sarung dan sajadah yang diketakan di dekat tangannya, kini tengah menatap ponselnya. Hari masih terlalu pagi, namun grup chat kompleks NEO sudah ramai saja.

"Juna, udah selesai?" Ayah sedikit berteriak dari arah ruang tengah, membuat Rendra meletakan ponselnya dengan segera dan menyambar sajadahnya.

"Yah, katanya orang-orang mau solat di rumah aja. Masih takut sama kejadian kemaren katanya."

Suara adzan subuh sudah berkumandang. Dari suaranya saja, mereka sudah bisa menebak jika baba Ken yang melakukannya. Ayah menganggukan kepalanya. Mereka berdua masih berdiam di ruang tengah dengan pikiran yang mata yang melirik satu sama lain.

Single Parent [Nct Lokal]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang