Jalanan padat yang dilihatnya terasa begitu menarik. Tas ransel besar berwarna hitam miliknya dipeluk erat. Kepalanya tersandar pada kaca bis, dengan mata yang tak pernah beralih dari ratusan kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya tersebut.
Tubuh besarnya menggigil, AC bis yang ada dalam posisi hidup sangat membuatnya merasakan hawa dingin yang menusuk. Dengan tas ransel sebagai penghalang, cowok itu memeluk tubuhnya sendiri, berharap jika hal tersebut bisa sedikit menghalau rasa dingin yang terasa.
Beruntung, laki-laki yang duduk di sampingnya cukup peka hingga AC tersebut dimatikan, membuatnya menoleh pada sosok yang duduk di sebelahnya tersebut.
"Makasih, Abi."
Saga tersenyum tulus pada Abi. Sebenarnya, bisa saja dia mematikan AC sedari tadi, tapi cowok itu enggan melakukannya lantaran takut abi kegerahan, tapi kini malah abi sendiri yang mematikannya.
Setelah itu, tidak ada percakapan lagi. Bagi Saga, jalanan masih lebih menarik ketimbang mengajak abi untuk mengobrol. Lagipula, suasana hatinya masih belum terlalu baik untuk melakukan hal itu. Pulang ke Jakarta dan meninggalkan Jogja adalah hal yang cukup sulit untuk dilakukan. Bukan, bukan sebab Saga ingin rindu pada kampung halaman orang tuanya, tapi lantaran dia yang masih tidak rela untuk berpisah lagi dengan umi.
Saga tidak seberuntung orang lain. Di saat orang lain punya ibu, dia tidak. Juga, di saat orang lain dapat dengan mudah menemui ibunya yang sudah meninggal sekalipun, tapi lagi-lagi Saga tidak bisa melakukannya. Antara Jakarta dan Jogja itu jauh, dia tidak bisa pulang pergi seenaknya seperti orang lain. Kadang, dalam satu tahun, Saga hanya bisa berkunjung tiga sampai empat kali ke makam umi, itu pun sudah sangat dia syukuri.
Kadang, Saga merasa tidak mengerti, dia dan abi tinggal di Jakarta, tapi kenapa umi dimakamkan di Jogja?
"Abi?" anak itu memanggil. Tubuh yang tadinya tengah bersandar pada kursi bis, kini berubah menjadi tegak agar bisa mengobrol dengan lebih sopan.
"Kenapa?"
Saga diam, tidak langsung menjawab pertanyaan abi barusan. Kedua kakinya terbelit, pertanda jika dia tengah gelisah kini.
"Kenapa umi di makamin di Jogja?"
Abi tampak tidak terkejut dengan pertanyaan itu. Sedari dulu, dia memang sudah menduga jika suatu saat, Saga akan menanyakan hal ini padanya.
"Karena umi meninggal di Jogja, Ntang."
Sebuah fakta yang sudah diketahui dari bertahun-tahun lalu, tapi hati Saga serasa tercubit mendengarnya.
"Kenapa enggak di bawa ke Jakarta aja biar kita lebih sering ziarah ke makam umi?"
Abi tersenyum kecut, itu juga hal yang ingin dia lakukan dahulu. Tapi, abi juga sadar jika proses penguburan jenazah seseorang itu tidak bisa di tunda-tunda, jadi tidak ada pilihan lain selain memilih Jogja sebagai tempat peristirahatan terakhir umi.
"Jogja udah jadi tempat yang tepat, Ntang."
Saga ingin menyangkal, sebab menurutnya, Jogja bukanlah tempat terbaik bagi umi. Andai saja saat itu umi di bawa pulang ke Jakarta, pasti jika dia rindu, Saga bisa menemuinya dengan mudah, tidak seperti sekarang, semuanya serba sulit. Jika rindu pun, Saga harus menunggu lama lantaran jadwal tausiah yang akan abi hadiri.
"Tapi kita jadi susah buat ketemu umi, Bi," cowok itu mengeluh, sedikit mendengus pada abi untuk yang pertama kalinya.
Abi hanya tersenyum kecil. Jika boleh jujur, dia juga sependapat dengan putranya, namun, apa boleh buat, semua ini sudah menjadi skenario Illahi, dan abi tidak bisa berbuat apa-apa untuk menentang ketetapan-Nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Parent [Nct Lokal]✓
Teen FictionMenjadi single parent? Ngga susah kalau anak yang diasuh kaya Dejan, Reno, Satya sama Jani yang baik, adem ayem dan penurut. Tapi, gimana kalau anaknya kaya Lucky yang rusuh, Mahesa yang panikan, Hendra yang random, Rendra yang emosian, Haikal yang...