Saga Hanya Khawatir

1K 201 9
                                    

"Abi yakin? Kalo Abi emang ngerasa kurang sehat, mending batalin aja jadwalnya, mereka pasti ngerti, kok."

Mendengar nada khawatir serta raut gelisah yang ditampilkan putranya, Abi tersenyum, merasa senang sebab Saga begitu perhatian padanya. Well, memang siapa yang tidak senang saat seorang anak peduli pada orang tuanya?

"Abi cuma masuk angin, Ntang, gak papa, kok," sebagai bukti bahwa dirinya memang betulan baik-baik saja, Abi melakukan peregangan, namun sayangnya, ekpektasi tak sesuai harapan, suara batuk yang terdengar, justu membuat Saga semakin khawatir dengan keadaan beliau.

"Abi, duduk dulu," cowok itu menuntunya untuk duduk pada kursi ruang makan. Saga dengan cepat mengambil segelas air dan memberikannya pada Abi yang diterima beliau dengan senang hati setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih pada putranya.

"Abi, jangan dipaksain, ntar sakitnya makin parah," Saga memegang tangan yang kini kulitnya sudah tidak sekencang dulu, sedikit keriput mulai menghiasi tangan lembut yang dahulu bahkan sampai sekarang sangat sering memberikan afeksi padanya.

"Jangan ya, Abi, Ntang mohon," puppy eyes-nya dikeluarkan, berharap jika Abi akan luluh untuk beristirahat sejenak dan memikirkan dirinya sendiri ketimbang menepati janji yang sudah dibuat dari beberapa Minggu lalu dengan orang lain.

"Abi baik-baik aja, Ntang — uhuk!"

Gelas berisi air putih yang tinggal tersisa setengah itu kembali di sodorkan pada Abi. Beliau meneguknya perlahan. Amat hati-hati dengan tangan yang kini mulai bergetar dan tenaga yang sudah mulai melemas.

"Kamu katanya mau nganter Zahra buat beli kado ibunya?"

Zahara As-syiffa, teman dekat dari Saga Bintang Purnama.

Cowok itu terlihat gelisah. Dirinya memang sudah berjanji pada sang sahabat untuk mengantarnya berkeliling mall guna membeli hadiah yang cocok untuk sang ibu yang hari ini tengah berulang tahun. Namun, di sisi lain, Saga tidak mau meninggalkan Abi sendirian dengan kondisi yang kurang sehat seperti ini. Ia tidak setega itu pada orang tuanya sendiri.

"Zahra pasti udah nunggu kamu, Ntang."

"Tapi Abi?"

"Abi baik-baik aja."


***

"Kamu lagi ada masalah, ya?"

Saga membeo, membulatkan mata terkejut saat mendapat pertanyaan tersebut dengan tiba-tiba dari Zahra.

"Ha? Nggak," cowok itu berkilah, senyum kecil ditunjukan pada temannya.

"Tapi kamu dari tadi cuma diem aja," gadis dengan kain berwarna abu yang menutup kepalanya, juga baju gamis dengan warna senada tersebut kembali mengutarakan jawabannya. Ia sangat yakin jika Saga tengah memikirkan sesuatu saat ini.

"Bukan masalah besar, Za. Yuk ah lanjut cari hadiah buat ibu."

Keduanya melanjutkan berkeliling mall untuk mencari hadiah yang tepat. Namun, tidak bisa dipungkiri jika Saga merasa sangat cemas pada keadaan Abi sebab walau bagaimana pun, ia tahu jika Abi akan berubah menjadi keras kepala jika itu menyangkut tentang tausiah yang akan dihadirinya. Saga takut jika Abi akan tetap memaksa pergi meski tahu jika kondisinya sedang tidak terlalu sehat.

Helaannya terdengar. Saga tidak akan pernah merasa tenang jika belum memastikan keadaan Abi secara langsung. Ia ingin cepat pulang dan menjaga Abi seharian, namun janjinya pada Zahra juga harus ditepati, kan? Terlebih, sekarang ini, mereka sudah berada di mall untuk membeli hadiah.

"Mau makan siang dulu gak, Ga? Cape dari tadi udah keliling tapi masih belum nemu hadiah yang cocok buat Ibu," Zahra memberengut, merasakan jika kakinya akan patah jika tidak diistirahatkan dahulu.

"Boleh."

Namun, bahkan sebelum mereka berjalan satu langkah pun, dering ponsel Saga sudah lebih dulu mengintrupsi, menyebabkan keduanya menghentikan langkah dengan refleks secara bersamaan.

Saga merogoh kantung celananya, mengambil ponsel yang di layarnya tertera nama Abi sebagai si penelpon.

Perasaannya kacau. Otaknya dengan tiba-tiba memikirkan kemungkinan buruk yang mungkin saja menimpa Abi, dan tanpa ingin membuang waktunya lagi, Saga segera mengangkat panggilan tersebut, namun suara yang didengar justru begitu asing hingga ia mengerutkan kening karenanya.

"Ini siapa, ya? Kok HP Abi saya bisa ada sama bapak?"

"Maaf, Mas, tapi pak ustadz Taufik minta saya buat ngehubungin Mas Saga."

Kerutan yang tercipta pada keningnya semakin dalam. "Lho, emangnya Abi lagi ngapain? Kok nyuruh bapak buat ngehubungin saya?"

Terdapat jeda sejenak. Bapak-bapak yang menelponnya tidak langsung menjawab, membuat rasa khawatirnya tumbuh.

"Anu, Mas. Pak ustadz pingsan waktu ngisi tausiah di acara saya."

Mendengarnya, membuat Saga ingin segera menemui Abi saat itu juga.


***


Berlari bagai orang kesetanan disepanjang koridor rumah sakit, Saga terus melirik setiap nomor yang ada dibagian depan pintu kamar inap.

Ruang flamboyan nomor 302 adalah ruangan yang dicarinya. Beruntung, dua orang laki-laki dengan pakaian koko berdiri didepan salah satu kamar yang mana membuat Saga langsung berasumsi jika salah satu dari kedua orang itu adalah bapak yang menelponnya tadi.

"Nak Saga?"

Cowok dengan keringat yang mengalir deras padapelipisnya tersebut mengangguk.

"Abi saya gimana keadaannya?"

"Mending Mas-nya masuk aja, kebetulan pak ustadz baru aja siuman."

Lalu, tanpa ingin menunggu lama lagi, Saga segera masuk ke dalam. Raut khawatir ditampilkannya meski ia sudah melihat jika kini Abi tersenyum kecil kearahnya.

"Abi, Abi gak papa, kan?"

"Abi baik-baik aja, cuma kecapean dikit," kalimatnya dijeda, Abi menatap Saga dalam. "Maaf ya, Ntang, Abi ganggu waktu kamu sama Zahra," beliau tampak menyesal.

"Abi," Saga mendudukan dirinya pada kursi di samping brankar yang ditempati Abi, menggenggam tangan yang tertusuk jarum infus tersebut dan baru menyadari jika tangan itu lebih kurus dari sebelumnya, "Jangan minta maaf sama Ntang, Abi gak salah, kok."

Lantas, yang bisa beliau lakukan hanyalah tersenyum.

"Abi?" Saga kembali memanggil, mengalihkan atensi beliau hingga tertuju padanya.

"Ntang cuma khawatir sama Abi, itu... Salah, ya?"


***

Single Parent [Nct Lokal]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang