Pos ronda sudah menjadi markas baru untuk anak-anak kompleks Neo, sebab setelah tragedi kaca rumah kang Beny yang pecah, anak-anak itu sudah mulai jarang berkunjung ke lapangan kompleks sebelah lagi. Kalau kata Yoga sih, masih trauma.
Di pos ronda yang tidak terlalu besar itu, mereka duduk berdempetan agar muat untuk menampung tiga belas orang. Bahkan, Nathan yang tadinya tengah tiduran di paha Rendra saja sampai dicubit oleh Lucky agar semuanya bisa kebagian tempat untuk bisa duduk.
Dengan kuaci Rebo, ale-ale sirsak, kerupuk jengkol, kerupuk memble, mie setan dan juga bisfit selimut — sebagi penawar rasa pedas — sudah diletakan ditengah dan mereka yang sudah duduk melingkari jajanan itu.
"Gue mau sambat, dengerin, ya?!"
Tangan kanan Lucky terulur untuk mengambil satu bungkus mie setan di sana, tapi tidak sempat terealisasi sebab mata tajam Rendra lebih dulu melihatnya.
"Bisa sabar, gak?! Gue lagi bagi-bagi, nih!"
Bagi-bagi yang Rendra maksud itu adalah dirinya yang sedang membagikan satu persatu jajanan itu pada orang-orang di sana. Tadi, saat baru sampai di pos ronda, mereka patungan uang empat ribu untuk membeli jajanan di warung tante Sunny.
"Nanti giliran, ya! Gue juga mau sambat, nih!" Nathan bicara setelah membuka plastik mie setan dengan giginya.
"Ya sama!"
Di pojok kanan dekat Rendra, Mahesa menghela, lantas menyenggol lengan tunggalnya Ayah Erwin untuk meminta bantuan agar tidak terjadi keributan.
"Iya, Bang. Ngerti gue."
Setelah pembagian makanan selesai, Rendra mulai mentap satu persatu temannya yang tengah asik pada makannya masing-masing. Otaknya mulai berfikir, kira-kira cara apa yang akan digunakannya untuk mengatasi masalah ini. Hingga, tidak sampai satu menit, jarinya sudah dijentikan, pertanda jika cowok itu sudah mendapat ide.
"Sambatnya mulai dari yang paling tua deh," finalnya.
Chandra yang awalnya sedang menikmati kerupuk jengkolnya, melotot tidak terima.
"Apa-apa dah, Ren? Orang gue yang punya ide duluan buat sambat!" kesalnya.
Sedangkan di tempatnya, Lucky sedang galau. Cowok itu tidak tau harus senang atau sedih. Ia senang sebab bisa medapat bagian sambat paling awal, tapi dirinya juga tidak terima jika dibilang yang paling tua. Walau bagaimana pun, wajahnya kan tetap seperti baby fece.
"Emang gue tadi bilang kalo gue mau nerima keluhan?" Rendra tidak mempedulikan ekspresi Chandra yang berubah murung. Dalam hal seperti ini, tidak ada belas kasihan — kecuali pada Mahesa dan Dejan, mungkin Rendra masih bisa memikirkannya untuk dua orang itu.
Anggap saja Lucky ketua di grup anak-anak ini, dengan Chandra yang menjabat sebagai wakil, dan Nathan sebagai bendahara. Sedangkan Rendra sendiri mempunyai jabatan penting disini, yaitu sebagai penasehat kebobrokan teman-temannya. Boleh saja jabatan Lucky, Chandra dan Nathan lebih tinggi, tapi jika Rendra sudah membuat suatu keputusan, tidak ada yang berani melawan, bahkan si ketua sekalipun.
"Mulai, Bang."
Sebelum memulai acara sambat, Lucky menyeruput ale-alenya terlebih dahulu. Kuaci yang sedang dimakannya, diletakan begitu saja di atas lantai kayu pos ronda.
"Bukan sambat sih, lebih ke pamer, hehe," cowok bertubuh bongsor itu menyengir, yang hanya direspon oleh kikikan jangkrik di bawah pos ronda juga burung gagak yang kebetulan sedang melintas di atas atap.
"Kemaren, gue sama Lele abis bersihin semua rumah. Kaca, lantai, sampe halaman rumah pun kita bersihin."
Masih tidak ada yang merespon, kecuali Cakra yang sudah bertepuk tangan heboh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Parent [Nct Lokal]✓
Teen FictionMenjadi single parent? Ngga susah kalau anak yang diasuh kaya Dejan, Reno, Satya sama Jani yang baik, adem ayem dan penurut. Tapi, gimana kalau anaknya kaya Lucky yang rusuh, Mahesa yang panikan, Hendra yang random, Rendra yang emosian, Haikal yang...