"Woy! Satya!"
Kala mandengar namanya disebut, Satya berhenti melangkah, membalikan tubuhnya dan menemukan Lucky yang tengah berlari ke arahnya. Nampak tergesa degangan gerakan yang amat lincah menurutnya.
"Kenapa, Bang?" cowok yang sama sipitnya dengan Reno itu bertanya, merasa heran sebab tidak biasanya Lucky menemuinya saat sedang berada di kampus seperti ini.
Tubuh bongsor milik si kakak tingkat sekaligus teman mainnya sedari kecil tersebut berhenti di depannya. Lucky mengambil napas dalam sebab merasa lelah sehabis berlarian untuk menyusulnya.
"Bapak lo, huh..."
Sebelah alisnya ditaikan, Satya menatap Lucky yang saat ini masih mencoba mengatur napas. "Papi kenapa?" begitu tanyanya.
Setelah penat yang dirasa sudah hilang, barulah Lucky menegakkan tubuhnya, menghadap Satya sepenuhnya dengan tatapan membara. "Bapak lo tuh ya, tiap kali ngajar, selalu aja ngasih ceramah biar mertahanin hubungan dengan baik, jangan jadi playboy lah, para cewek jangan kecentilan lah, para cowok jangan mata keranjanglah! Halah, bapak lo udah ngomong begituan ratusan kali tau!" cowok bongsor itu berbicara dengan menggebu, kekesalan tergambar amat jelas dalam raut wajahnya yang berkeringat.
Satya hanya bisa tersenyum tipis. Sejujurnya, ini bukan yang pertama kalinya ia mendapat keluhan seperti ini. Ini sudah yang kesekian kalinya. Banyak teman seangkatan, kakak tingkat atau bahkan adik tingkat sekalipun yang sering memberikan laporan seperti itu padanya. Namun, tidak ada yang bisa dilakukannya selain diam dan membiarkan Papi untuk terus melakukan hal tersebut, toh disamping beliau yang sering memberikan ceramah tentang mempertahankan sebuah hubungan, beliau juga tidak pernah lupa pada kewajibannya untuk membimbing dan memberikan ilmu pada mahasiswanya.
***
"Pi?" Satya berteriak nyaring. Kepalanya melongok ke sana kemari guna menemukan keberadaan Papi di dalam rumah, namun nihil, beliau yang biasanya duduk anteng sembari menonton kantrun Upin & Ipin dipetang hari seperti ini, kini tidak ada di sana. Sofa tempatnya duduk, kosong, juga tidak ada tanda-tanda Papi disana.
Kakinya dibawa melangkah, menyusuri selasar ruang tengah menuju kamar beliau yang hanya dipisahkan tebok samping dekat televisi.
Pintu kamar Papi dibukanya, namun tetap saja Satya tidak menemukan sosok itu di dalamnya.
Lalu, suara piring yang beradu membuat cowok itu mengernyitkan dahinya dan dengan cepat, ia langsung bergegas menuju dapur.
Hal yang pertama terlihat oleh matanya adalah punggung lebar Papi yang kini tengah berkutat dengan kompor dan tali celemek yang melilit rapi pada punggungnya.
Satya menggelengkan kepalanya. Padahal ia sudah berteriak cukup keras untuk memanggil Papi, namun ternyata beliau tidak mendengarnya.
Cukup miris, di usianya yang tidak lagi muda, papi memang tidak terlalu bisa mendengar dengan baik sampai terkadang, Satya harus berbicara dengan nada yang cukup keras pada beliau.
"Pi?"
Saat pundaknya ditepuk pelan dari belakang, barulah Papi berbalik untuk kemudian menyunggingkan senyum tipis guna menyambut kepulangan putranya tersebut.
"Udah mandi?" beliau bertanya, yang dibalas anggukan oleh cowok sipit tersebut.
"Udah di rumah mami tadi, sekalian dibawain ini," kresek hitam dengan ukuran cukup besar yang sedari tadi dibawanya, kini diangkat tinggi-tinggi hingga Papi bisa melihatnya dengan jelas.
Beliau tidak bereaksi banyak, namun senyum tipis yang ditampilkan sudah cukup membuat Satya merasa bersalah.
Bau harum susu yang bercampur dengan bumbu mie, menyerbak ke seluruh penjuru rumah. Satya menatap Papi dengan raut sedihnya. Mulutnya sudah terbuka, hendak mengucapkan sesuatu jika saja beliau tidak lebih dulu menyela, memotong ucapannya yang bahkan belum keluar sama sekali.
"Nggak papa, seenggaknya, nasi lebih sehat dari pada mie."
Mendengarnya, Satya menggeleng keras. Ia tidak bermaksud demikian. Indomie susu buatan Papi adalah yang terenak, tentu saja ia akan memakannya, lagipula, beliau sudah dengan baik memasak untuk makan malam, akan sangat jahat jika ia tidak memakannya sama sekali.
"Malem ini, kita makan indomie susu buatan Papi, makanan dari mami mah buat sarapan besok pagi aja."
Papi ingin menyangkal, namun terlambat saat Satya sudah beranjak dari sana untuk segera menyimpan makanan pemberian mami ke dalam kulas.
Beliau menghela napasnya dalam, berbalik menghadap kompor lalu memarut keju ke dalam indomie susunya yang sudah mendidih.
Tidak membutuhkan waktu lama, mie yang dimasak pun sudah siap. Papi mengangkat panci kecil tersebut menuju ruang tengah tempat Satya berada, lalu berbalik lagi ke dapar untuk mengambil mangkuk, sumpit dan air untuk keduanya.
Dengan beralaskan karpet bulu yang ada di ruang tengah, keduanya mulai menyantap makan malam mereka dengan ditemani film catatan hati seorang istri.
Papi tersenyum disela kegiatannya. Beliau menyimpan sumpitnya di atas mangkuk, lalu meneguk air putihnya dengan Satya yang melihatnya aneh. Tidak biasanya pria tua itu menghentikan acara makannya disaat mie nya saja masih banyak didalam panci.
"Mau dengerin Papi, gak?"
Satya mengangguk kecil meski perasaannya berubah menjadi tidak enak. Hatinya mengatakan jika Papi akan memulai sesi ceramah dengan tema yang sama lagi. Namun, meski begitu, cowok sipit itu tetap menyimak, sama-sama menaruh sumpit dan menaruh fokus pada Papi di depannya.
"Jangan kaya Papi."
Benar.
Dugaan Satya ternyata benar.
"Jangan pernah sekalipun kamu nyakitin hati cewek manapun."
Ia sudah mendengar nasehat itu lebih dari seratus kali dari mulut beliau.
"Jangan sampe kamu nyesel kaya Papi."
Cowok itu menggeleng pelan. Ia ingat, dulu sekali, dirinya sering merasa bersalah sebab menjadi anak pengadu hingga Mami marah dan kedua orang tuanya bercerai, lalu Papi akan mengusap lembut punggung tangannya, mengatakan jika ia tidak boleh menyalahkan diri seperti itu, dan kini, giliran Satya yang akan melakukannya, menenangkan beliau agar tidak diliputi perasaan bersalah terus menerus.
"Ini udah takdir, Pi," cowok itu memulai. "Nggak papa, ya, mami udah maafin Papi, jadi Papi gak boleh ngomong gitu lagi. Lagian kita semua, baik mami, Papi maupun Nanda juga udah bahagia."
Karena sejatinya, penyesalan ada bukan untuk ditangisi, namun untuk dijadikan pelajaran agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.
Ananda Satya Alsetiawan tidak bisa mengelak jika tindakan Papi dimasa lalu memang salah, namun, semuanya sudah terlanjur terjadi. Kini, yang harus dipikirkan bukanlah terlarut dalam bayang-bayang masa lalu, namun bagimana cara agar mereka bisa hidup bahagia di dunia ini, sebab, setiap manusia berhak untuk bahagia, kan? Termasuk Papi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Parent [Nct Lokal]✓
Teen FictionMenjadi single parent? Ngga susah kalau anak yang diasuh kaya Dejan, Reno, Satya sama Jani yang baik, adem ayem dan penurut. Tapi, gimana kalau anaknya kaya Lucky yang rusuh, Mahesa yang panikan, Hendra yang random, Rendra yang emosian, Haikal yang...