Ayah

2.4K 332 23
                                    

Seulas senyum tipis terukir di bibirnya. Hatinya sesak tanpa diminta. Air mata jatuh tanpa di suruh. Rendra mematikan ponselnya. Benda itu di simpannya di atas nakas. Ratusan notifikasi dari grup chat anak kompleks membuat hatinya sakit. Melihat bagaimana teman-temannya bercerita panjang lebar tentang sore yang dijalaninya di rumah mamanya masing-masing itu secara tidak langsung menyakitinya. Bahkan, setelah Nathan mengirimkan voice note padanya yang mengatakan bahwa dia harus baik-baik saja pun tidak berpengaruh sama sekali.

Saat tangan itu menyimpan ponsel di nakas, Rendra merasa jika tubuhnya seakan mematung. Bingkai foto yang ada di sana menarik perhatiannya. Bukan, bukan fotonya, melainkan foto Ayah dan Bunda yang saat itu tengah memegang perut besarnya. Sekali lagi, senyum itu terbit. Rendra mengambil bingkai fotonya, mengusapnya pelan dengan air mata yang berjatuhan hingga mengenai kaca itu.

Wajah cantik Bunda diusapnya. Senyum kedua orang tuanya begitu tulus, membuatnya kembali berandai-andai. Jika saja Bunda ada di sana, mungkin dia tidak perlu sedih seperti ini.

Suara decitan pintu yang terbuka tak juga membuat cowok itu menghapus air matanya. Memang untuk apa Rendra melakukan itu? Tolong, untuk sekali ini saja, dia tidak ingin berpura-pura kuat di hadapan Ayah, sebab kini dia lelah memakai topeng agar terlihat baik-baik saja padahal hatinya serasa tercabik kuat. Bahkan, Arjuna Rendra Winardi yang setiap harinya suka marah-marah pun bisa lelah untuk terus berpura-pura.

"Juna, Ayah temenin tidur ya, nak — suara Ayah memelan di akhir. Laki-laki dengan balutan piyama abu-abu itu terkejut saat melihat putranya menangis sambil menggenggam pigura kedua orang tuanya.

Ayah menghampiri putranya. Dirinya berjongkok di hadapan Rendra yang tengah duduk di tepi tempat tidur. Anak itu mendongak dengan wajah basah berlinang air mata. Tatapan matanya begitu nanar, Ayah mengerti tentang perasaan yang dirasakan putranya kini.

Dengan mata yang sudah berkaca, Ayah menatap benda yang sedari tadi di pegang putranya. Perlahan, tangan besar itu mengambil alih pigura tersebut untuk kemudian diletakan kembali di nakas. Tangan mungil Rendra digenggam, dengan senyum pahit yang ditampilkannya.

"Juna kangen Bunda," anak itu berucap.

Ayah mengangguk kecil, "Ayah tau, Nak. Ayah tau."

"Juna pengen ketemu Bunda, Yah. Juna —

Gelengan kepala yang Ayah lakukan, menghentikan ucapan anak itu. Tangan kanannya terangkat untuk menghapus jejak air mata di wajah manis sang putra, sedang tangan kirinya masih setia untuk menggenggam tangan mungil Rendra. "Kamu kangen Bunda? Sama, Ayah juga kangen, Nak." Untuk sejenak, Ayah menjeda ucapannya. Sesak di dadanya begitu terasa, beliau berusaha keras untuk tidak menangis lebih dari ini di depan putranya. "Jangan gini ya, Sayang? Bunda ngga akan suka kalo Juna sedih kaya gini. Jagoannya Ayah sama Bunda ngga boleh sedih, kamu harus kuat biar Bunda seneng."

Mungkin ayah lupa jika putranya sudah besar. Alasan klasik itu tidak membuat Rendra tenang, malah yang ada cowok itu menangis semakin keras hingga membuat Ayah langsung memeluknya.

Malam itu, pasangan Ayah dan anak itu menangis sembari berpelukan. Air mata yang selama ini selalu disembunyikan, kini ditumpahkan saat merasa jika diri masing-masing sudah tidak sanggup menahannya lagi.

***

"Tunggu, tunggu. Demi apa Nathan mau nginep di rumah mamanya?"

Papa memutar mata malas. Sudah jelas jika tadi dirinya mengatakan bahwa Nathan memang tidak ada di rumah lantaran sedang menginap, tapi kedua orang di depannya ini malah heboh sekali, seakan jika hal itu adalah sesuatu besar yang mustahil untuk terjadi. Tapi jika dipikir-pikir, memang sedikit mustahil sih sebenarnya. Sudah menjadi rahasia umum jika Nathan membenci mamanya, pantas saja Daddy dan Papi seperti keheranan saat mendengar berita itu.

Single Parent [Nct Lokal]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang