Note : Di sini, anak-anak kompleks udah pada kuliah, ya!
—
Matanya melirik pada pergelangan tangannya guna melihat jam di sana. Rambutnya disilakan ke belakang, dengan bibir yang terbuka lantaran napas yang berhembus.
Ponsel yang diletakan disaku celana, diambil. Grup chat anak kompleks adalah tujuannya sebab pesan disana sudah mencapai dua ratus lebih hingga ponselnya terus bergetar lantaran notifikasi yang tak hentinya masuk.
Meski terlihat ogah-ogahan, tapi tetap saja dibukanya. Namun, seperti dugaannya jika semua percakapan yang ada disana memang tidak panting untuk disimak. Yoga yang mengeluh tentang hubungan romansa yang dialaminya, Chandra yang membicarakan dosen menyebalkan di kampusnya, Lucky yang ikut nimbrung untuk meramaikan, Mahesa yang hanya membalas dengan kata 'wkwk' dan selebihnya, hanya menyimak dan ikut mengobrol seperlunya.
Tengah asik dengan dunianya, cowok itu sampai tidak sadar jika orang yang ditunggu, sudah berdiri tepat di sampingnya, hingga saat pergelangan tangannya disentuh pelan, dirinya tersentak kaget dengan mata yang melotot.
"Asik banget kayaknya? Lagi chatan sama siapa sih?" tubuhnya dicondongkan, yang justru malah mendapat gelengan kecil dari cowok itu dengan ponsel yang kembali dimasukan ke dalam saku.
"Kamu telat lima belas menit dari waktu seharusnya kamu pulang," ultimatum itu dikeluarkannya, namun nyatanya, tak membuat gadis yang kini berdiri tepat didepannya itu merasa bersalah. Malahan, decakan kesal dikeluarkannya.
"Lima belas menit doang. Kan hari ini juga gak ada jadwal kuliah."
Tri Reno Saputra menggelengkan kepalanya, lantas jitakan kecil dihadiahkan pada gadis tersebut. "Bukan masalah waktunya ya, Sayang, tapi ini soal kedisiplinan!" begitu tegasnya.
Tidak langsung menjawab, tangan gadis itu terulur dengan gerutuan kesal sebab rambutnya sedikit berantakan sebab tangan cowok sipit itu yang dengan seenak jidat malah menjitaknya.
"Tadi ada urusan dulu sama Pak Ardi, elah."
Sembari memberikan helm pada lawan bicaranya, Reno tampak bingung. Matanya menatap seolah meminta penjelasan dari si gadis.
"Kenapa? Kamu buat masalah, ya?!" tuding cowok sipit itu.
Kini, cubitan keras dihadiahkan pada pinggangnya, hingga Reno mengaduh kesakitan karenanya.
"Bener, kan?" matanya memicing curiga.
Helmnya dipakai, gadis dengan seragam putih abu dan rambut berwarna sedikit pirang itu lagi-lagi mendecak kesal. "Nggak! Pak Ardi nya aja yang baperan," kakinya melangkah, hendak menaiki motor yang ditumpangi Reno, namun cowok itu bergerak cepat, memegangi tangan si gadis hingga gerakannya terhenti seketika.
"Jelasin dulu! Kamu nggak pernah diajarin buat ngulah kaya gini, kan?"
Ah, terdengar sangat menyebalkan, bahkan orang tuanya di rumah pun tidak akan berreaksi berlebihan semacam ini. Ternyata, bercerita pada Reno bukanlah ide yang baik, sebab nyatanya, cowok sipit itu malah memperpanjang masalah yang ada.
"Tadi pas pelajaran Pkn, pak Ardi cuma ngasih tugas ngerjain lks terus beliau malah pergi gitu aja dan nggak balik lagi ke kelas sampe menjelang dzuhur. Yaudah toh tugas aku udah selesai, jadi aja aku sama Nita pergi ke mushola duluan sebelum waktu istirahat. Eh tau-tau pas balik lagi ke kelas, ada temen yang bilang kalo aku sama Nita disuruh menghadap Pak Ardi di kantor pas pulang nanti!" gadis cantik itu bercerita dengan menggebu. Jujur saja, dia masih amat kesal pada guru yang mengajar mata pelajaran Pkn tersebut. Menurutnya, tindakannya tidak patut disalahkan, toh Pak Ardi pun malah meninggalkan kelas saat bel istirahat belum berbunyi.
Kali ini, Reno melepaskan pegangannya, membiarkan gadis cantik itu duduk apik dibelakangnya. Ingin menasehati pun percuma, sebab ia yakin jika gadis itu sudah bisa membedakan yang baik dan buruk diusia yang kini sudah menginjak tujuh belas tahun.
Mesin motornya dihidupkan, namun, sebelum Reno menjalankannya, ia menolehkan kepalanya ke belakang, tatapannya melunak, dengan eye smile andalannya yang ditampilkan. "Mau pulang dulu, atau langsung ke toko buku?"
Yang ditanya, hanya mencebikan bibir kesal. Dia tidak suka saat lelaki yang kini tersenyum begitu lembut padanya bertanya dengan tatapan cukup menyeramkan seperti tadi. Oke, dia takut, sebab belum terbiasa ditatap demikian oleh Reno.
"Langsung ke toko buku aja, biar nggak bulak-balik."
Kemudian, Reno mengangguk, melihat jalanan yang cukup lenggang di depannya, lantas menjalankan motor untuk berputar arah dan melaju setelahnya.
"Kabarin Mommy dulu, takutnya malah nyariin!" Reno sedikit berteriak agar si pemumpang bisa mendengar ucapannya.
Tidak ingin membatah, gadis tersebut mengeluarkan ponsel dari saku celana, untuk kemudian mengetik pesan singkat yang akan dikirimkan pada orang tuanya agar tidak khawatir sebab dirinya akan pulang terlambat dari biasanya.
Akibat jalanan yang cukup lenggang disiang hari ini, kedua orang yang terpaut usia sekitar tujuh tahun itu bisa cepat sampai di toko buku yang dituju.
Beberapa buku tebal untuk referensi ujian nasiaonal nantinya, dibeli, dengan Reno yang membayar semua total pembeliannya dan si gadis hanya menyengir dibelakang tubuhnya.
"Udah siang, beli makan dulu gimana? Nanti makannya di rumah aja, sekalian sama daddy," Reno memberi penawaran, yang justru langsung disetujui gadis itu tanpa pikir panjang.
***
"Dad?"
Beliau yang tengah duduk anteng di ruang keluarga, ditemani kucing oren yang nampak bermanja pada kakinya, hanya tersenyum, menyambut kedatangan kedua anak muda itu dengan wajah cerahnya.
"Maaf ya, Dad, gara-gara Jeni, abang jadi telat pulangnya."
Daddy menggeleng pelan, space kosong disampingnya, ditepuk pelan, memberikan kode agar adik tiri dari putranya tersebut duduk disana.
Menurut, Jeni mendudukan dirinya didekat beliau, sedangkan Reno sendiri sudah melenggang ke dapur untuk mengambil piring serta air untuk mereka bertiga.
"Ujian nasionalnya kapan?" beliau bertanya, hitung-hitung menghilangkan kesunyian yang terjadi.
"Sebulan lagi," gadis itu tersenyum tipis, yang tentunya mendapatkan tepukan pelan pada bundaknya.
"Nggak papa, biar gak ada beban lagi," beliau seakan menyemangati. "Kalo ada materi yang nggak kamu ngerti, tanyain aja sama kakakmu itu."
Kedua orang yang ada di ruang keluarga tersebut tertawa bersama, sangat kontras dengan Reno yang mengerang kesal mendengarnya.
Nampan dengan tiga buah piring, juga gelas dengan jumlah yang sama, dibawa ke ruang keluarga, membuat Daddy dan Jeni yang awalnya duduk diatas sofa, seketika pindak dan lebih memilih lesehan diatas karpet.
Dalam tentramnya acara makan tersebut, sesekali Daddy dan Jeni tertawa lantaran guyonan yang dilontarkan satu sama lain.
Reno yang melihatnya, hanya bisa tersenyum kecil. Senang rasanya saat tahu bahwa bibir itu kini lebih sering melengkungkan sebuah senyuman manis ketimbang ucapan sinis.
Daddy yang dulu, dengan yang sekarang sangat berbeda. Jika dulu lebih sering mengomel, maka sekarang tidak lagi. Beliau hanya akan diam dengan kepala menggeleng pelan. Namun, meski begitu, Reno akan tetap menyayangi beliau, tidak peduli bagaimanapun sikapnya, ia akan selalu suka sebab itu adalah Daddy, orang yang amat disayanginya,
— sampai kapan pun.
***
Kalo ada yang nggak dimengerti sama konsep part ini, tanyain aja, nanti saya jawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Parent [Nct Lokal]✓
Teen FictionMenjadi single parent? Ngga susah kalau anak yang diasuh kaya Dejan, Reno, Satya sama Jani yang baik, adem ayem dan penurut. Tapi, gimana kalau anaknya kaya Lucky yang rusuh, Mahesa yang panikan, Hendra yang random, Rendra yang emosian, Haikal yang...