Nathan tidak bohong saat bilang kalau dia sanggup mentraktir kedua belas temannya. Namun, seperti pendiriannya saat masih di pos ronda, Rendra tetap kekeuh tidak mau di traktir. Bukannya apa-apa, Rendra juga tau kalau Om Jeffry itu orang kaya, tapi dia masih tetap ragu kalau Nathan meminta uang itu tanpa membohongi Papa nya. Katakanlah jika Rendra itu suudzon, sebab otaknya tidak bisa berfikir positif saat ini.
Bukan hanya Rendra, tapi Dejan juga sama. Anak sulung Papski Jidan itu menolak untuk di traktir dengan dalih kalau dia masih bisa membayar sendiri.
Hari sudah sore, cahaya jingga sudah nampak di ufuk barat, menandakan kalau malam sebentar lagi akan tiba. Berbekal hp yang dibawa masing-masing anak, mereka tahu kalau sekarang sudah pukul setengah enam sore. Sudah terlalu sore untuk pulang ke rumah. Mungkin, mereka terlalu menikmati seblak gratis dari Nathan sampai lupa waktu.
"Nanti sore tunggu di pos ronda, ya? Kita ke masjid nya bareng."
Chandra mengacungkan jempolnya sebagai tanda jika dirinya setuju dengan usulan Lucky. Jangan salah, walau kadang suka nakal begini, sulungnya Baba Ken ini tetap semangat untuk pergi ke masjid. Ya walaupun ujung-ujungnya akan tetap berakhir di warung kopi Koh June, sih.
Semuanya pulang ke rumah masing-masing.
Saga melepas sandal yang tadi di pakainya di ujung teras. Sebelum masuk ke rumah, dia mengucapkan salam terlebih dahulu, sebab Abi selalu bilang, kalau mengucapkan salam itu hukumnya wajib.
"Assalamualaikum," ucapnya, membuka pintu rumah.
Dari arah ruang keluarga, Abi datang dengan senyumannya.
Tangan Saga terulur, lantas mencium tangan kanan Abi tersayangnya.
"Waalaikum salam, Ntang kok baru pulang? Ini kan udah sore."
Tidak salah kalau Abi khawatir. Ini adalah pertama kalinya anak gantengnya pulang di waktu yang hampir mendekati magrib.
"Maaf, Bi. Tadi keenakan makan seblak, jadi lupa waktu." Saga menyengir, memamerkan gigi putihnya.
Abi tidak mempermasalahkannya. Asalkan anaknya baik-baik saja, dia tidak akan marah.
"Yaudah, Ntang mandi ya. Ini udah sore, bentar lagi masuk waktu magrib."
Saga mengangguk. Memasuki kamarnya untuk mengambil handuk, lalu berjalan dengan sendung kecil menuju kamar mandi. Tapi, belum sempat tubuh jangkungnya masuk ke dalam, Abi sudah memanggil namanya terlebih dahulu, membuatnya urung untuk menutup pintu kamar mandi.
"Ntang?"
"Iya, Bi?"
Abi percaya pada anaknya. Mungkin saja Saga pernah jadi anak bandel yang pernah bolos sekolah, tapi untuk urusan berbohong, Abi yakin kalau anaknya tidak akan pernah melakukan itu.
"Ntang jujur sama Abi, kan?" seharusnya, Abi tidak perlu bertanya lagi sebab di grup whatsapp pun, sebagian besar bapak-bapak yang lainnya bilang kalau anak mereka memang meminta uang untuk patungan sebagai tanda tanggung jawab atas kesalahan mereka memecahkan kaca rumahnya kang Beny. Tapi sekali lagi, Abi hanya ingin memastikan kalau anaknya tidak berbohong.
"Jujur apa?" Saga menaikan sebelah alisnya. Pertanyaan yang dilontarkan abi masih terlalu tabu hingga dia tidak mengerti maksudnya.
"Soal uang buat kaca rumahnya kang Beny."
Anak itu ber-oh mendengarnya. Lantas, gelengan kepala menjawab pertanyaan yang sedari tadi Abi pendam dalam hatinya.
"Aku ga bohong. Kalo Abi ga percaya, Abi bisa tanya langsung sama Kang Beny."
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Parent [Nct Lokal]✓
Teen FictionMenjadi single parent? Ngga susah kalau anak yang diasuh kaya Dejan, Reno, Satya sama Jani yang baik, adem ayem dan penurut. Tapi, gimana kalau anaknya kaya Lucky yang rusuh, Mahesa yang panikan, Hendra yang random, Rendra yang emosian, Haikal yang...