"SPAD — aaaa..."
Sebelah alisnya terangkat, juga suara yang memelan diakhir saat netranya dengan jelas melihat sepasang mata tajam yang kini menatap ke arahnya. Kakinya kanannya ditumpangkan diatas kaki kiri, jangan lupakan kedua tangan yang terlipat di depan dada dan wajah yang amat datar tanpa ekspresi sama sekali.
"Kita harus bicara!" terdengar seperti sebuah perintah, tanpa ingin dibantah.
Lucky benci mengakuinya, namun ia sedikit merasa takut saat melihat Cakra — orang yang sepertinya menunggu kepulangannya — memasang ekspesi demikian. Amat sangat kontras dengan raut ceria yang biasa ditampilkannya sehari-hari.
"Ya ngomong mah, ngomong aja! Ini kan lo juga lagi ngomong!"
Matanya berotasi malas. Cakra bangkit dari duduknya, sedikit melongokan kepala ke arah kamar Baba yang langsung disambut dengan kehadiran beliau yang kini sudah rapi dengan baju koko dan sarung andalannya.
"Kamu udah pulang, Ky?" Beliau bertanya, yang dibalas ciuman pada tangan dari si sulung pada orang tuanya.
"Kata Lele, kamu udah pulang dari jam tiga?"
Sebuah cengiran menjawab pertanyaan tersebut. Lucky merangkul pundak Baba main-main. "Baba kaya nggak pernah muda aja."
Hanya dengan jawaban pendek itu, Baba sudah paham, terlampau paham malah. Beliau hanya menggeleng pelan, berbeda dengan Cakra yang raut wajahnya sudah semakin datar.
"Baba ke mushola dulu, ya, kamu kalo mau solat di rumah juga nggak papa, terus Lele, jangan lupa nyusul ya?"
Raut wajahnya berubah drastis. Cakra memasang senyum kelewat lebar pada Baba yang kini sudah mulai meninggalkan keduanya. "Iya, Ba!"
Anak itu masih belum berubah, di usianya yang sudah menginjak dewasa, Cakra masih tetap berisik, sama seperti dulu.
Lalu, saat tubuh Baba menghilang dari balik pintu, si bungsu segera menutupnya, menyebabkan Lucky hanya bisa diam dan menatapnya heran. Mengapa adiknya terlihat begitu menakutkan dengan perubahan ekspresi wajah seperti itu?
Tubuhnya yang kini sudah hampir menyamai si sulung, didekatkan. Senyum sinisnya terlihat saat si bungsu menatap kakaknya dari jarak yang cukup dekat seperti ini.
"Cewek lo..." kalimatnya digantung. Jari telunjuknya menekan dada kiri sang kakak dengan keras, namun Lucky abai, ia lebih tertarik untuk mendengar kalimat selanjutnya yang akan Cakra ucapkan ketimbang dengan membalas perbuatan cowok itu. "... Munafik."
Si bungsu menekan kalimatnya. Tubuhnya ditarik menjauh, raut kebingungan Lucky tak membuatnya puas, ia ingin ekspresi yang lebih dari sekedar diam membeo dengan raut bodoh seperti ini.
"Gue gak suka sama cewek lo!"
Seperti tertarik kembali pada kehidupan, Lucky mendengus menatap adiknya. Tidak ada rasa marah dalam hatinya, sebab ia tahu jika Cakra suka main-main dengan ucapannya.
"Apasih? Orang selama ini lo sama Erna baik-baik aja, kok."
"Baik-baik aja, sebelum gue tau kalo dia munafik," cowok itu berhenti sejenak, ditatapnya lamat-lamat wajah sang kakak, dan barulah ucapannya diteruskan saat Lucky sudah membuka mulutnya. "Dia suka ngomongin hal-hal jelek soal Baba!" lalu, suaranya meninggi.
"Hah? Gak mungkinlah anjir! Orang selama ini aja Erna selalu baik sama Baba! Ngaco lo ah!" Lucky mengelak, nampak sedikit tidak terima kala sang pacar di jelek-jelekan seperti itu, padahal semua orang juga sudah tahu jika hubungan percintaannya mulus-mulus saja tanpa ada kendala apa pun, ya kecuali perihal Baba yang agak sedikit membatasi pergerakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Parent [Nct Lokal]✓
Teen FictionMenjadi single parent? Ngga susah kalau anak yang diasuh kaya Dejan, Reno, Satya sama Jani yang baik, adem ayem dan penurut. Tapi, gimana kalau anaknya kaya Lucky yang rusuh, Mahesa yang panikan, Hendra yang random, Rendra yang emosian, Haikal yang...