Suara bising dengan aksen barat yang terdengar sangat kental itu tak juga mengganggu konsentrasinya. Jemari pada tangan kirinya menari dengan lihai di atas keyboard, sedang tangan kanannya menahan dagu yang disandarkan di sana, sesekali, teh hangat yang ada di samping laptop, diseruputnya kala rasa pening mulai menyapa.
Ribuan huruf yang ada ada layar terus saja berputar dalam kepalanya, seakan ingin membunuhnya saat itu juga. Mulutnya menghembuskan napas lelah. Tangan kirinya ditarik untuk kemudian memijat pelipisnya sendiri. Cangkir teh kedua yang masih utuh, ditarik untuk kemudian diseruput pelan. Matanya terpejam, menikmati sensasi hangat yang mengalir pada tenggorokannya.
Orang itu, Arjuna Rendra Winardi, putra tunggal dari Erwin Winardi yang saat ini tengah melanjutkan pendidikannya di Eropa, lebih tepatnya, di Barcelona, Spanyol.
Merasa sudah tidak sanggup lagi untuk mengerjakan tugas kuliahnya, Rendra mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja setelah sebelumnya menaruh kembali teh-nya.
Benda persegi miliknya dihidupkan, Rendra membuka galeri ponselnya, mencari sesuatu di sana yang sekiranya bisa membuat hatinya menjadi lebih tenang.
Lantas, foto seseorang dengan jas putih yang melekat apik pada tubuhnya, juga kacamata bening yang bertengger dihidung serta rambut yang sudah ditumbuhi helaian uban adalah gambar yang dipilih.
Itu foto Ayah, foto yang baru beliau kirimkan beberapa hari lalu padanya. Foto yang katanya diambil secara diam-diam oleh Papski Jidan saat mereka tengah berada di rumah sakit dan sedang mengobrol di dalam ruang kerja milik Ayah. Foto dimana Ayah tengah memegang lembaran kertas dengan pandangan yang begitu terfokus pada benda putih tersebut.
Rendra tersenyum kecil, mengusap layar ponselnya dengan begitu pelan, seakan sangat takut menyakiti foto yang ditampilkan di sana.
Air mata sudah mulai menggenang pada pelupuk matanya, siap tumpah kapan saja. Beruntung, suara lonceng yang berbunyi membuat cowok itu menghapus krystal bening itu dengan segera. Atensinya teralih pada pintu cafe saat mendengar rengekan seorang anak di sana.
Ponselnya di remat kasar. Rendra merasa jika hatinya berdesir tidak karuan saat melihat jika di depan pintu masuk, ada seorang anak kecil yang tengah merengek pada ayahnya, hingga laki-laki paruh baya dengan coat coklat yang Rendra duga sebagai ayah dari anak tersebut berjongkok lalu membisikan sesuatu yang tidak bisa ia dengar namun berhasil membuat si anak menangis keras dan memeluknya.
Rasanya deja vu, Rendra seperti melihat dirinya di masa lalu. Masa ketika ia sering merengek pada Ayah, lalu beliau dengan sabar menasehatinya untuk tidak nakal, membisikan berbagai kata penenang hingga membuatnya melunak.
Ah, ia jadi semakin merindukan semestanya.
***
"Pantesan aja! Gue neken-neken nih bel kampret dari tadi nggak ada yang bukain, eh ternyata lo nya baru pulang."
Rendra memutar mata jengah. Niat ingin pulang dan langsung beristirahat sebab dari beberapa jam yang lalu sudah dibuat pusing oleh tugas kuliahnya, tapi saat pulang ke apartment malah dihadapkan dengan manusia yang satu ini. Menyebalkan.
"Baru bangun tidur lo?" matanya menelisik penampilan orang di hadapannya. Celana pendek dengan kaos oblong juga rambut yang acak-acakan serta wajah bantal itu sebenarnya sudah cukup menjawab pertanyaannya.
"Iya. Orang gue baru bisa tidur jam empat sore tadi."
Rendra menggelengkan kepalanya. Hidup orang yang saat ini berdiri di depannya sangat tidak teratur. Tidur sekitar pukul empat atau lima sore, lalu terbangun di saat jam sudah menunjukan waktunya makan malam, lalu setelahnya baru mengerjakan tugas kuliah sampai pagi menjelang. Benar-benar berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Parent [Nct Lokal]✓
Teen FictionMenjadi single parent? Ngga susah kalau anak yang diasuh kaya Dejan, Reno, Satya sama Jani yang baik, adem ayem dan penurut. Tapi, gimana kalau anaknya kaya Lucky yang rusuh, Mahesa yang panikan, Hendra yang random, Rendra yang emosian, Haikal yang...