46. Pesan Pertemuan

124 16 0
                                    

Tak ada manusia yang sempurna, manusia itu tempatnya salah. Tapi, semua itu bukan pedoman yang tepat dijadikan sebagai alasan untuk membuat kesalahan.

***

Laily berada di rumahnya. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah dan menghabiskan liburan semesternya di sana. Meninggalkan Jakarta sementara dan berniat melupakan seseorang yang pernah membuatnya menaruh rasa.

Jujur, siapa pun pasti pernah mengalaminya. Merasa sakit karena telah mencintai. Ya, jatuh cinta memang tidak perihal bahagia, ada luka yang pasti datang setelahnya. Percaya atau tidak, terluka itu pasti, dan kecewa adalah salah satu tahap di mana cinta itu mulai diuji.

Laily mengembuskan napasnya, pandangannya tepat ke arah jendela, menunggu papanya pulang. Dia butuh kejelasan akan suatu hal. Suara klakson mobil dari luar membuat Laily cepat-cepat bangkit dari lamunannya.

"Papa," panggil Laily dan Sidik yang hendak memasuki ruang kerjanya langsung menoleh.

"Loh, Laily, lagi libur semester, ya?" Tumben pulang, biasanya betah di Jakarta." Sidik berjalan ke ruang utama dan duduk di sofa. Pria paruh baya itu menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Memberi isyarat Laily untuk duduk.

"Gimana sekolah kamu?" Pertanyaan klasik yang sama sekali tak ingin Laily jawab. Tapi, papanya sangat begitu hangat padanya. Bertanya tentang sekolahnya, tersenyum tulus, dan mengusap puncak kepalanya. Laily bisa durhaka jika hanya diam saja dan berlagak tidak mendengar. Ia hanya kecewa, papanya tak memberitahukan fakta.

"Baik, Pa." Laily tersenyum kikuk. "Sebenernya, Laily mau tanya sesuatu sama papa?"

Sidik melonggarkan dasinya. Terasa atmosfer yang serius dari nada kalimat yang Laily lontarkan.

"Apa sayang?"

"Kenapa Papa bohong sama Laily?"

"Soal?"

"Mama masih ada, kan, Pa? Mama belum meninggal, kan, Pa?"

Sidik meneguk salivanya. Kenapa Laily tiba-tiba menanyakan soal itu? Sudah sembilan tahun lamanya. Dan, Laily menannyakan itu sekarang.

"Kenapa, Pa?" Laily minta kejelasan. "Kenapa waktu itu Papa bohongin, Laily?"

Sidik tak bisa menjawab. Tenggorokannya terasa kering. Ia seolah dipaksa mengingat kejadian di masa lampau. Menyakitkan. Tapi, semua itu hanya masa lalu dan memang seharusnya harus dilupakan. Hidup terus berjalan dan gak mungkin seseorang akan selalu stagnan di masa lalu yang menyedihkan.

"Laily butuh kejelasan, Pa."

Sidik tetap diam.

"Jawab, Pa, Laily pengen tau fakta sebenarnya."

***

Lena mengemasi barang miliknya. Tujuannya memang meninggal rumah ini beserta suami dan anaknya. Ia sudah tak peduli dengan mereka berdua. Lena hanya ingin bersama cinta pertamanya sewaktu SMA, Hendrick Gautama.

Saat itu Laily masih kecil, bagi Lena mudah sekali untuk membohongi gadis sekecil itu. Mau tidak mau, ia sendiri lelah dengan sandiwara rumah tangga ini selama sepuluh tahun lamanya.

Setelah semua siap, Lena dengan cepat memboyong tas kopernya untuk keluar kamar. Masih ada waktu sebelum anaknya itu pulang sekolah. Matanya membola setelah melihat Hendrick yang ada di ambang pintu.

"Mau ke mana kamu, Na?"

Lena membuang muka. "Aku udah muak dengan rumah tangga kita, kalau boleh saya ingatkan, dari dulu kita cuma pura-pura."

AlLy [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang