Aku terlalu bodoh telah mengabaikanmu begitu saja. Sekarang rasa ini malah tumbuh di ruang rasa secara bebas, layaknya partikel-partikel yang mengudara.
***
Jadi objek lukis gue.
Entah kenapa kalimat itu terus terngiang di kepalanya seperti kaset rusak. Laily menggelengkan kepalanya pelan. Tidak. Ini salah. Ia tak seharusnya memikirkan Aldy apalagi ucapan yang dilontarkannya tadi.
Laily harus mengenyahkan pikiran-pikirannya tentang cowok bernama Aldy itu.
"Psst, Ly," bisik Ellin sembari menyenggol lengan Laily.
"Apaan sih Lin?!" ujar Laily lumayan keras. Ia refleks, karena sedari tadi ia melamun dan tidak fokus.
"Itu kenapa yang di pojok teriak-teriak?" tanya Bu Vivi selaku dosen mata kuliah biofisika.
Laily berdiri, kemudian sedikit membungkukkan badannya, dan mengucap, "Maaf Bu." Setelah itu dia duduk kembali.
"Siapa yang suruh kamu duduk?"
Bu Vivi menatap garang ke arah Laily sambil berkacak pinggang. Laily jadi keringat dingin di tempat. Sejauh ia mengenal Bu Vivi belum pernah ia melihat dosennya seperti ini. Bu Vivi tipikal orang yang sabar sebenarnya, namun sekali ia tidak diperhatikan akan jadi seperti ini. Sisi galaknya akan keluar.Laily akhirnya berdiri. Kepalanya ia tundukkan. Tak berani menatap wajah sang dosen.
"Kamu, ke sini," titah Bu Vivi sehingga Laily mau tidak mau harus menurutinya.
Laily hanya berharap. Bu Vivi tidak terlalu kejam padanya sehingga bisa membuatnya mendapat nilai C di mata kuliah beliau. Laily terus merapalkan doa dalam hati. Semoga yang dipikirkannya tidak terjadi.
"Saya mau, kamu ke fakultas seni cari mahasiswa yang bernama Renaldy, dia seangkatan kok sama kamu," ujar Bu Vivi santai.
Mampus, batin Laily. Kenapa ia harus berurusan dengan cowok itu lagi.
Bu Vivi menjelaskan bahwa ia mengajar mata kuliah bahasa inggris di fakultas seni, beliau juga menjelaskan jika Aldy adalah mahasiswanya yang pandai dan patut diandalkan.
"Kenapa saya harus memanggil Aldy, Bu?"
"Laptop ibu sepertinya tidak bisa menyala, Aldy pasti bisa memperbaikinya. Sekarang kamu panggilkan dia."
"Baik, Bu," balas Laily lesu padahal di dalam hati sudah mengumpat tak menentu.
Aldy lagi, Aldy lagi.
***
Laily melangkahkan kakinya menuju fakultas seni. Ia tahu betul di mana letaknya. Yang ia tidak tahu, yakni kelas Aldy. Dari sekian banyak kelas. Apa harus ia memasuki satu per satu kelas hanya mencari seorang Renaldy? Sungguh apes nasibnya hari ini.
Laily celingukan tak tentu arah. Fakultas seni di sini cukup luas, membuat kakinya sedikit pegal karena berkeliling.
"Lai!" Langkahnya berhenti. Laily membalikkan badan. Yap, Laily sudah mengira itu Aldy, dan dugaannya benar. Ini yang dinamakan pucuk dicinta ulam pun tiba. Tadi Laily mencari Aldy dan kini Aldy memanggilnya.
Tak ambil pusing, Laily menyuruh Aldy mendekat ke arahnya dengan isyarat menggunakan tangan.
"Ciee, yang cariin gue," goda Aldy membuat Laily memutar bola matanya.
"Dicariin Bu Vivi tuh, laptopnya rusak dan minta lo yang benerin."
"Oh, gue kira lo ada perlu apa gitu sama gue." Aldy cengegesan dan Laily hanya berdecak.
Laily berjalan duluan, ia tak menyadari bahwa Aldy masih diam ditempat. Ia baru sadar setelah sepuluh langkah berjalan.
"Lah! Kok masih di situ sih Dy!" geram Laily berjalan kembali ke tempat sebelumnya.
"Ada syaratnya." Aldy menaikkan sebelah alisnya.
"Pake acara syarat-syarat segala sih. Itu Bu Vivi dah nunggu dari tadi. Heran gue, sebanyak mahasiswa di kampus ini, dia cuman milih lo," ucap Laily kesal.
Aldy membusungkan dadanya ke depan dan menepuk dadanya bangga. "Gue kan murid andelannya." Aldy berdeham singkat. "Terima syarat dari gue atau gue nggak akan ke sana?"
Laily mengembuskan napas kasar, memejamkan mata sebentar menghilangkan amarah. Untuk kali ini saja, Laily akan menuruti Aldy. Daripada ia kembali dan Bu Vivi akan memarahinya.
"Lo mau apa?" tanya Laily malas.
"Mau lo."
"Dih, permintaan lo nyeremin."
Aldy tertawa renyah, membuat Laily bertambah kesal. Menyebalkan sekali cowok ini. Sudah beberapa menit yang telah terlewati dan Aldy malah membuang-buang waktunya. Waktu sangat berharga bagi Laily.
"Cepet."
"Sabar. Permintaan gue masih sama kok, Lai, yang tadi pagi. Jadi objek lukis gue," ungkap Aldy serius.
Laily menimang-nimang itu sejenak. Sudah dapat ia tebak, Aldy pasti tak akan menyerah. "Gak," jawab Laily kemudian.
"Kenapa?"
"Gak mau ya gak mau. Jangan maksa."
Aldy dibuat terkekeh dengan jawaban Laily barusan. Laily memang gemas, sehingga ia mencubiti lengan cewek itu.
"ALDY!"
"Terima syarat dari gue atau gue nggak mau ke sana. Gue sih gak maksa. Tapi, lo tau sendiri Bu Vivi sifatnya kek gimana kalo dia gak diturutin." Aldy menyugar rambutnya ke belakang. Sok kecakepan dan sok penting, pikir Laily.
Aldy benar-benar mengujinya. Cowok itu benar-benar membuatnya di dalam sebuah pilihan. Cowok gila memang.
"Ya udah, gue mau. Cepet ke kelas gue," putus Laily. Ia tak mau mendapat amukan Bu Vivi, dimarahi sebenarnya tidak apa-apa, namun Laily memikirkan hal lain. Dia cuman takut Bu Vivi memberinya nilai C di semester ini. Karena jelas, tadi Laily yang salah tidak memperhatikan Bu Vivi yang sedang mengajar.
Turuti saja dosenmu, karena beliau yang mempengaruhi nilaimu. Ingat, dosen itu berkuasa! Prinsip Laily yang ia pegang teguh.
"Nah gitu dong." Aldy mencubit lengannya lagi.
"Lo kok nyubitin gue sih dari tadi?!" Bukannya menjawab, cowok itu malah terkekeh.
Apasihh yang lucu!
"Gila lo, Dy."
"Gila gini lo suka kan?" Aldy menatapnya serius.
Kenapa jantung Laily mendadak berdetak lebih cepat? Serasa mau copot dari tempatnya.
"Hallo." Aldy menjentikkan jarinya. "Gausah serius-serius gitu kali. Gue bercanda." Aldy berjalan duluan, ia tahu di mana kelas Laily. Lain Aldy, lain Laily. Ia tahu betul di mana kelas cewek itu.
Laily masih terdiam. Berusaha menetralkan detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu dari biasanya.
Apakah ini pertanda? Bahwa rasa itu telah kembali? Rasa yang pernah singgah dan itu hanya untuk seorang ... Aldy?
***
BigLuv,
ALnDMy04
KAMU SEDANG MEMBACA
AlLy [COMPLETE]
Fiksi Remaja-Sequel 18 Words- ° ° ° ° Entah mengapa takdir mempertemukan kita kembali dan sepertinya semesta ingin melanjutkan kisah kita yang sempat terhenti.