45. Memori

116 18 2
                                    

Tanpa kamu sadari, seseorang yang datang tanpa dikira adalah dalang dari semua rahasia.

***

Sembilan tahun lalu. Bocah laki-laki berumur sepuluh tahun itu hanya menatap mamanya yang sedang terbaring di ranjang dengan tatapan sendu. Tangannya bergerak mengelus punggung tangan mama, lalu berpindah mengelus pipi. Air matanya lolos begitu saja. Wajah pucat yang ada di hadapannya membuat bocah itu sedih.

Aldy, nama bocah itu. Ia terus mengelap pipinya yang basah karena air mata. Sudah satu tahun, orang yang sangat disayanginya di dunia ini sakit-sakitan. Tak ada lagi yang bisa memberinya kasih sayang atau pelukan hangat. Mamanya hanya terbaring lemah di atas ranjang.

"Ma-mama, A-aldy m-mau mama sembuh," ujarnya sesegukan. Aldy bukan bocah cengeng. Tapi melihat wanita yang teramat dikasihinya itu sakit ia jadi sering menangis.

Sementara Hendrick, papanya tak tahu entah ke mana. Papa hanya pulang ke rumah di hari minggu saja, sisanya ia tak mengetahui keberadaan ayah kandungnya itu. Hendrick mulai berubah sejak Vera—mama Aldy sakit. Emosi Hendrick kadang juga di luar kendali dan sering memarahi Aldy. Namun, bocah itu tak memusingkannya selama Hendrick masih tetap pulang ke rumah, meski di hari minggu saja.

Ceklek. Pintu terbuka memperlihatkan seorang suster dan dokter pribadi keluarganya. Iya, Vera di rawat jalan, yang berarti mamanya harus menjalani perawatan medis di rumah. Itu semua keinginan Hendrick, katanya biaya rawat inap lebih mahal dibanding rawat jalan oleh sebab itu Hendrick lebih memilih rawat jalan agar ia tak terlalu mengeluarkan banyak uang.

Aldy mundur saat dokter mulai mengecek kondisi Vera. Termenung beberapa saat. Dirinya terlonjat saat ada yang menepuk bahunya. Bi Rina—asisten rumah tangga keluarga Aldy itu menunjukkan senyuman.

"Den, Aldy makan dulu ya, biar gak sakit." Bi Rina mengelus puncak bocah itu.

Aldy menggeleng. "Ini hari minggu ya, Bi? Papa udah pulang?"

Tin. Tin.

Baru saja Aldy menanyakan Hendrick. Suara klakson yang ditekan beberapa kali membuatnya girang dan segera menuju halaman depan rumah.

Aldy menggertakkan giginya, tangannya mengepal, rasa amarah begitu besar. Apa yang ada di pikiran Hendrick saat ini? Vera sedang sakit dan Hendrick malah asik bercumbu di depan mobil.

Aldy menghampiri Hendrick dan wanita yang baru saja berciuman dengan Hendrick. Bocah laki-laki itu mendorong kasar wanita itu sampai jatuh terjerembab, lutut wanita itu tergores dan Aldy tak peduli.

"Aldy!" bentak Hendrick pada anak semata wayangnya. "Apa yang kamu lakukan dengan calon ibu barumu?!"

Aldy semakin dibuat tak percaya. Kali ini papanya benar-benar di luar batas, mana mungkin papanya berbicara seperti itu padahal di dalam mamanya sedang berjuang untuk hidup.

"Mamamu itu sebentar lagi sekarat, Aldy. Papa hanya ingin mencarikanmu sosok yang ibu yang baru," ujar Hendrick sambil membantu Lena berdiri. "Gak papa, Na?" tanyanya pada Lena.

"Gak kok, gak papa."

"Apa papa gak mikirin perasaan mama?" Sorot Aldy mendadak sendu. "Mama cinta sama papa tapi apa balasan papa sama mama?"

Hendrick melirik malas ke arah putranya. Ia mendesis dan tak peduli. "Ayo, Na, saya antar kamu pulang," ajak Hendrick menarik tangan Lena, mengajak wanita itu pergi dari sana.

Hendrick mengarah ke mobilnya lalu membukakan pintu untuk wanitanya yang baru.

"Pa! Papa!" Sekencang apapun dan sebanyak apapun, panggilan itu tak dipedulikan oleh Hendrick.

Hendrick melajukan mobilnya dan meninggalkan pekarangan rumah. Aldy kalut dan meminta untuk sopir pribadi papanya mengantarkan dia.

"Pak, ikuti mobil papa," perintahnya kemudian.

***

Hidupnya seperti tak ada artinya lagi. Hanya kekosongan, kehampaan, dan kesunyian membekap sepenuhnya sosok Aldy. Kehilangan mamanya adalah hal yang paling tidak bisa ia lupakan. Sudah tiga hari yang lalu, sejak mamanya tiada ia menjadi sangat kesepian.

Papanya? Bahkan sosok yang begitu Aldy harapkan kehadirannya. Nyatanya, tak pernah mempedulikannya. Untuk menengok Aldy sekali pun enggan. Aldy semakin merasa bahwa dia sendiri di dunia ini.

Aldy, bocah lelaki itu ingin mengunjungi suatu tempat. Tempat yang mungkin, di sana ia bisa menemukan papanya. Dengan langkah cepat, bocah laki-laki itu menuruni anak tangga dengan tergesa.

"Den, Aldy, mau kemana?" tanya Bi Rina yang melihat anak majikannya itu terlihat buru-buru.

Aldy tak menjawab dan terus berjalan cepat. Satu tujuannya, mencari keberadaannya papa, dan pikirannya cepat menyimpulkan bahwa papanya ada di rumah wanita simpanan itu.

***

Senyum smirk terlihat di wajah Aldy. Rumah yang terlihat mewah dengan pagar yang begitu menjulang. Wanita itu kaya raya, pikir Aldy.

Aldy hanya berdiam diri, kediaman itu tampak sepi, tak ada tanda-tanda orang yang ada di dalam sana. Pintunya juga tertutup. Praduganya salah, setelah ia melihat seorang bocah perempuan yang dikepang dua keluar dari pintu rumah itu. Bocah itu membawa boneka, sesekali mengajak boneka itu berbicara, dan mengelus-elusnya.

Laily melihat bocah lelaki di depan pagarnya. Ia menghampiri dengan langkah riang. Ingin membuka pagar pun rasanya percuma, tinggi badannya tak mampu untuk menjangkau pembuka pagar rumahnya. Jadi, Laily hanya diam dan mengamati bocah laki-laki itu. Laily dan Aldy saling bertukar pandang yang dibatasi oleh sebuah pagar.

Laily menjulurkan tangannya berniat mengajak berkenalan. Aldy tak peduli dan langsung membuang muka.

"Kamu cari siapa?" tanya Laily. Baru kali ini ia melihat sosok bocah laki-laki ini.

"Ada apa ke sini?" tanya Laily lagi namun tetap saja Aldy hanya diam.

"Laily!" teriak Lena dari dalam rumah. Ia menghampiri anak semata wayangnya, dan wajahnya berubah terkejut setelah melihat Aldy di sana.

Lena langsung membalikkan tubuh Laily untuk menghadapnya. "Laily, gak boleh main sama orang asing ya?" peringat Lena pada Laily.

"Tapi, kayaknya dia cari orang, Ma," jawab Laily polos. "Dari tadi, berdiri di sini, Laily tanya sama ajak kenalan, gak mau jawab apa-apa."

"Udah, ya, Laily gak usah peduliin orang kayak gitu. Dia aneh, Laily jangan deket-deket sama dia, ya," ujar Lena lalu melirik Aldy dengan tatapan malas.

"Sekarang Laily makan dulu, ya." Lena mengusap puncak kepala Laily. Setelahnya bocah perempuan itu masuk sambil bersenandung riang.

Lena celingukan, setelah memastikan Laily benar-benar masuk ia berbicara dengan Aldy.

"Papa kamu gak ada di sini dan saya ingatkan, jangan pernah datang ke sini." Perkataan itu keluar dengan mulut Lena. Ekpresi Aldy tetap datar, sedetik kemudian ia tersenyum remeh. Lena tak peduli, wanita itu mendesis lalu memasuki rumahnya kembali.

Aldy tak habis pikir. Papa rela meninggalkan mamanya karena wanita seperti dia?

Aldy tak menemukan papanya di sini. Ia berjalan tak tentu arah, tapi sebuah mobil terlihat menuju rumah itu. Aldy berhenti sejenak dan mengamati dari jauh. Lelaki paruh baya baru saja keluar dari mobil.

"PAPA!" pekik Laily begitu senang melihat papanya pulang.

Aldy berdecih, seharusnya dia juga seperti itu sekarang. Seharusnya keluarganya masih utuh, seharusnya mamanya masih ada, dan seharusnya papa tidak selingkuh dengan wanita itu.

Wanita itu ... wanita yang telah menghancurkan keluarnya. Keluarganya cukup terlihat harmonis, kenapa dia harus datang di kehidupan papa?

Lihat saja. Ada harga yang harus dibayarkan atas segala rasa sakit. Rasa bagaimana ditinggalkan oleh orang yang dicinta.

***

TBC!

AlLy [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang