25. Tempat Main

216 36 101
                                    

Saat Laily dan Ellin datang. Makanan sudah tersaji rapi di atas meja. Laily dan Ellin duduk di tempatnya masing-masing.

Laily melirik Aldy yang tidak makan. Lebih tepatnya lelaki itu tak memesan makanan untuk dirinya. Karena hanya ada tiga piring saji saja yang tersedia saat ini.

"Lo nggak makan, Dy?" tanya Laily tak enak. Ia yang diajak Aldy ke sini, kemudian memesan makanan mahal. Laily cukup merasa bersalah akan hal itu.

"Nggak, Lai," ujarnya kemudian tersenyum.

Ya sudah, gak makan juga gak papa. Yang rugi kan bukan gue, batin Laily tak peduli.

Aldy memainkan ponselnya sejak Laily mulai menyuapkan sendok demi sendok ke dalam mulutnya. Sesekali Laily melirik Aldy yang senyum-senyum sendiri saat bermain ponsel.

Ia terlalu fokus pada Aldy, sampai-sampai ia tak menyadari bahwa Riky memperhatikannya dengan senyum yang sulit diartikan. Jangan tanyakan Ellin bagaimana cara dia makan. Ia terlalu asik dengan makanan sehingga tak mempedulikan orang-orang di sekitar.

Senyuman jahil tercetak jelas di wajah cowok itu. Dengan sengaja ia menaburkan bubuk cabai kelewat banyak pada sendok Laily yang akan dimasukkan ke dalam mulut.

Riky makan dengan teratur. Sebelum suara teriakan butuh air membuatnya ingin tertawa.

"Ahhhh, pedess, air, air, air." Laily panik karena rasa pedas yang tiba-tiba itu.

"Lo kenapa sih, Lai?! Hahaha," ujar Ellin sambil tertawa lebar. Ia sampai menggebrak-nggebrak meja saking hebohnya.

Bukannya apa-apa? Temannya itu tidak membantunya untuk menghilangkan rasa pedas dan malah menertawai. Teman macam apa!

Aldy spontan memberikan minumnya pada Laily dan langsung dihabiskan olehnya dalam sekali teguk.

Riky tertawa puas dalam hatinya. Sementara Laily merutuki kebodohannya. Rasa pedas itu berasal dari mana? Mengingat makanan yang ia makan tak ada rasa pedasnya. Ia menilik Ellin dan Ellin hanya mengedikkan bahu acuh.

Oke, fiks! Pasti ini ulah Riky. Ia melirik cowok itu dengan mata memicing. Sepertinya praduga akan Riky yang menaruh bubuk cabai itu semakin kuat. Ketika Laily melihat ada sebuah botol bubuk cabai di sebelah lengan kiri cowok itu.

"Pasti lo, kan?" tuding Laily menunjuk-nunjuk wajah Riky dengan berani. Jangan tanya keberanian itu ia dapat dari mana. Karena sekarang ada Ellin dan Aldy, makanya ia tidak takut. Lain lagi kalau situasinya hanya ada Laily dan Riky.

Riky mengedikkan bahu tak acuh, dan menjawab, "Itu bukan gue," ucapnya santai. "tapi, nih tangan gue," lanjutnya kemudian sembari mengangkat tangan kanannya.

Oh, helloooo. Jawaban macam apa itu. Memangnya dia dan tangannya itu tidak satu paket?!

Kalau mau ngeles ya ngeles aja. Mau ngaku ya ngaku aja. Gausah bilang 'itu bukan gue, tapi tangan gue'. Rasanya ia ingin merontoki rambut Riky sekarang juga.

"Hahaha." Tawa Ellin cukup membahana itu membuat Laily risih.

"Lo sehat, Lin?" tanya Ellin yang terus saja tertawa sedari tadi.

"Abang gue ternyata kocak juga, Ly. Hahaha. Wajahnya aja sok-sok an cool, kek badboy, kek senior yang diincer, aslinya konyol. HAHAHAH." Ellin tertawa sembari bertepuk tangan kencang.

Rasanya Riky ingin membunuh Ellin sekarang juga.

Laily ikut-ikutan tertawa sejadi-jadinya. Membenarkan ucapan Ellin.

"Udah, Ly, udah. Itu di atas kepalanya ada asepnya. Udah siap meledak tuh. Hahahah."

Seandainya Riky tahu bahwa ia akan dilahirkan sebagai kakak dari Ellin. Ia memilih tidak lahir saja ke dunia.

AlLy [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang