48. Voice Message

126 13 0
                                    

Kita itu ibarat sepasang sepatu yang ukurannya kekecilan. Gak pas, gak cocok, jadi gak usah maksa.

***

"Mau sampai sejauh mana? Gue nggak jamin 100%."

Pria itu terlihat menghela napasnya. Lalu, mengedikkan bahu, ia juga tidak tahu.

"Kasih tau, sebelum lo nyesel." Pria itu menyesap rokoknya, lalu mengembuskan napasnya perlahan. Kepulan asap rokok menguar bebas di udara.

"Gue nggak bisa."

"Lo pikir, dengan sikap lo kayak gini lo nggak nyakitin dia?" Sudut bibir lelaki itu terangkat.

"Waktu gue nggak banyak. Gue gak bisa memprediksi waktu." Ia mendongak. Menatap langit dengan tatapan kosong. Lelaki itu lagi-lagi menghela napas.

"Kalau lo emang gak bisa bahagiain, seenggaknya gak usah nyakitin. Pada akhirnya bukan cuma lo yang terluka, tapi juga dia."

"Gue tau itu. Tapi, gue lebih gak bisa lihat dia sedih. Gue lakuin ini supaya dia lebih cepet ngelupain gue."

"Lo salah," jawab pria itu cepat. "Justru sikap lo yang kayak gini malah ngebuat dia terluka dan selalu inget sama lo. Inget, sesuatu yang menyakitkan lebih lama tersimpan di memori dari pada hal yang menyenangkan. Kesannya, lo kayak ninggalin sisi negatif kalo kayak gini."

"Terus, gue harus apa?"

"Cari dia, minta maaf, bilang yang sebenernya." Pria itu bangkit dari duduknya. Membuang sisa puntung rokoknya dan menginjaknya dengan kasar.

"Gue gak janji."

"It's okay, the decision is still in your hands."

***

Bola matanya berusaha menetralkan cahaya yang masuk ke dalam retinanya. Sedikit demi sedikit, matanya terbuka. Laily mengucek pelan matanya, ia langsung terduduk setelah sadar bahwa ini bukan kamarnya.

Kamar bercat putih, bersih, dan hanya ada beberapa lukisan biasa membuatnya semakin aneh. "Ini gue di mana?" tanya Laily yang mulai berjalan mendekati pintu.

"Astaga!" pekik Laily melihat seorang wanita paruh baya dari balik pintu.

"Hehe, Non Laily mau ke mana?" tanya Bi Tari, ia membawa nampan berisi air putih.

Laily terkejut, bahkan wanita paruh baya ini mengetahui namanya. "Siapa yang bawa saya ke sini ya, Bi?"

"Den Iky, Non."

"Iky?" Bibi ini tak salah menyebutkan nama, kan? Laily tidak kenal dengan yang namanya Iky, ia ingat-ingat pun percuma. Iky nama yang asing untuknya.

"Den Iky nya ada di taman depan, Non, kalau mau ketemu, Bibi permisi dulu," pamit Bi Tari lalu meninggalkan Laily.

Siapa Iky? Dengan cepat Laily menuruni anak tangga. Ia langsung menuju ke taman depan untuk menemui Iky Iky itu.

Setelah ia sampai, keningnya mengerut. Ia melihat ada lima orang di sana yang sedang duduk melingkar, mereka tengah asik memainkan kartu UNO. Laily menggaruk rambutnya, ia semakin tidak pahan bisa berada di sini.

"Cari siapa lo?" tanya seseorang membuatnya terkejut.

"Lo?!" teriak Laily membuat lima orang yang tadi bermain kartu menoleh ke sumber suara.

Riky menaikkan alis sebelah kirinya. Tangan kanannya sedang membawa secangkir kopi panas, untung saja tidak tumpah saat Laily mengejutkannya tadi.

Laily manggut paham, jadi Iky itu Riky, ya ... lelaki itu lagi.

"Cewek bodoh!" ujar Riky lalu melewati Laily begitu saja. Cowok itu menuju tempat di mana teman-temannya berkumpul.

Laily masih bingung kenapa ia di sini. Tunggu, tunggu, setelah diingat-ingat. Kemarin malam. "Astaga!" pekiknya yang membuat Riky dan teman-temannya menoleh, terkejut karena suara Laily.

Mereka berenam termasuk Riky memasang raut bingung dengan dahi berkerut. Salah seorang teman Riky bernama Dhani menyikut lengan Riky. "Tuh, cewek lo kenapa?"

Hal itu langsung mendapat pelototan tajam. Dhani langsung tidak ingin berkomentar lagi, bisa abis dia sama macan satu ini.

"Aneh banget cewek lo." Kini ganti Kelvin yang menyahuti. "Hehe, canda bosque." Kelvin mengangkat dua jarinya membentuk V.

Laily langsung berlari menuju kamar yang tadi. Ia langsung menutup pintu dan berkemas. Sekelebat kejadian kemarin malam yang tiba-tiba muncul. "Gue malu banget! Kenapa harus Riky coba yang nolongin gue kemarin!"

Bukannya bersyukur sudah ditolong, Laily malah merutuki Riky. Entah takdir atau kebetulan yang tak disengaja, lagi-lagi mereka bertemu dengan kejadian tak terduga.

Laily membereskan tempatnya, wajahnya terkejut melihat Riky yang sudah di depan saat ia membuka pintu kamar. Laily nyaris berteriak namun diurungkan karena telunjuk Riky yang sudah tertempel di bibir cowok itu. Memberinya isyarat untuk diam.

"Ngapain di situ?!" Seolah tak punya rasa takut, Laily berbicara ketus sambil bersedekap. Padahal ia mati-matian menahan takutnya, ia juga ingat kesan pertama kali bertemu cowok itu. Kasar dan kurang akhlak.

Tak menjawab, Riky malah menatap Laily lekat.

Sumpah ni cowok emang paling bisa buat gue mati kutu, adem panas, gila, batin Laily yang tak kuasa dengan tatapan Riky, begitu deep menurutnya.

"Ngapain liat-liat! Gak ada kerjaan banget! Sana minggir." Laily mendorong lengan Riky agar pria itu pergi dari hadapannya. Sudahlah, Laily akan pulang ke rumahnya.

"Dasar gak tau terima kasih banget sih lo. Tau gitu gak usah gue tolongin," ucapnya santai.

Laily membalikkan badan dan mengangkat tangan kanannya. "Oke, thanks!"

Riky menaikkan sudut bibirnya. "Gak ikhlas banget. Untung gak gue apa-apain kemarin!"

Hell! Bawa Riky ke neraka, Laily mohon Tuhan.

Laily melempar sepatunya sebagai balasan. Hal itu membuat emosinya tersalurkan. Sialnya, sepatu itu malah bukan mengenai kepala Riky justru ditangkap sigap oleh cowok itu. Padahal bidikannya sudah pas menuju kepala Riky.

"Balikin!"

"Barang yang udah ada di tangan gue, gak bakal bisa kembali."

Laily menggeram di tempat, lalu mengepalkan kedua tangannya erat. "Ya udah! Ambil aja! Bye!" Laily menghentakkan kakinya kasar. Tak penting sekarang ia hanya memakai satu sepatu, yang penting ia bisa keluar dari sini.

"Bocil banget tu cewek," ujar Riky setelah melihat punggung gadis itu menjauh.

Riky kembali menuju ke taman depan, bergabung dengan temannya kembali. Riky tak ikut main, ia duduk agak jauh di salah satu kursi panjang. Merebahkan tubuhnya. Ia sangat lelah, setelah seharian kemarin touring dari Jakarta ke Surabaya. Setelah sampai pun ia langsung keluar ke bar, padahal temannya langsung beristirahat di rumahnya yang ada di Surabaya.

Namun, pertemuan tak terduga membuatnya menaikkan sebelah sudut bibirnya. Dia dipertemukan dengan Laily lagi.

***

Laily sudah setengah jalan, sekarang ia sedang menunggu gojek yang sudah ia pesan. Untung saja baterai ponselnya masih ada 5%. Kalau tidak, ia pasti akan berjalan kaki sampai rumah.

Ting!

Sebuah notifikasi pesan masuk. Ternyata Aish. Laily sedikit menajamkan penglihatannya. Tumben sekali Aish mengiriminya voice note, setaunya Aish tipikal orang yang mengirimi chat dengan ketikan, sepanjang apa pun kalimatnya Aish pasti mengetiknya.

"Tumben nih anah." Laily mengedikkan bahu.

Detik-detik ponselnya akan mati, sudah 3%. Laily menekan tombol putar.

Suara ini ... Aldy, kan?

***

TBC!

AlLy [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang