Zae sedang berdiam menatap langit-langit kota Jakarta. Menyesap wine yang sudah ia minum lebih dari setengah botol itu. Sudah dua minggu setelah keputusannya untuk melarikan diri dari Negeri Paman Sam yang menjadi tempatnya bertumbuh selama hampir 12 tahun.
Waktu sudah menunjukan hampir pukul tiga pagi. Tetapi, mata cantik itu belum juga bisa terpejam. Pikirannya terus melayang pada kejadian beberapa minggu lalu. Kejadian yang ia pikir bisa mengubah hidupnya dan mengubur segala kekelaman.
...
"Aku sudah memutuskan. Aku akan pergi ke Indonesia dan bersekolah di sana," kata Zae ketika keluarga kecil itu sedang berkumpul. Pernyataan Zae sukses membuat ayah dan ibunya terlonjak. Berbeda dengan kembarannya yang justru memasang ekspresi datar dan sibuk memakan sup krimnya.
"Untuk apa?" tanya sang ayah memincingkan matanya.
"Aku butuh teman. Tidakkah kalian berpikir, usiaku sudah hampir 12 tahun dan aku belum pernah mencecap pendidikan selayaknya anak usiaku. Hidupku banyak dikelilingi orang dewasa dan itu pasti berdampak pada psikologisku," jawabnya tak acuh.
"Di Amerika banyak tempat bagus untukmu sekolah. Alasanmu memilih Indonesia itu yang tidak masuk akal dan mengundang kecurigaan." kali ini sang ibu yang membuka suaranya.
"Itu alasanku sendiri. Tidak bisakah kalian membiarkanku mengambil keputusan untuk diriku sendiri?" suara Zae kian meninggi.
Troyes menggebrak meja makan. Para maid yang melayani mereka hanya bisa tertunduk menyaksikan pertengkaran keluarga yang terus menghiasi meja makan itu. Sang ayah memadang puterinya tajam. "Berhenti bersikap konyol. Bagaimanapun juga kau masih berada di bawah asuhan Mom dan Dad, Zae Ambroise. Kita bicara lagi nanti."
"Tidak. Siapa yang ingin membahas hal ini? Keputusanku sudah bulat dan kalian tidak akan pernah bisa mengubahnya," teriaknya kemudian meninggalkan meja makan itu. Terdengar teriakan sang ayah yang memintanya untuk kembali. Namun, Zae tidak mengindahkan panggilan itu. Kakinya terus melangkah ke kamar kemudian menguncinya rapat-rapat.
Terdengar ketukan pintu ketika Zae baru saja selesai mandi. Suara sang ayah memintanya untuk membuka pintu dan mengancam akan mendobraknya jika ia tak segera membukanya. Kendati ia seringkali membenci sang ayah, melihatnya marah selalu berhasil membuat rasa segan itu muncul. Zae akhirnya membukakan pintu bagi ayahnya.
Troyes masuk ke kamar anak bungsunya itu dengan tatapan marah. Ia benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan putrinya itu. "We need to talk," katanya tak ingin dibantah.
Zae memutar mata kesal. "Anda tidak bisa mengubah keputusan saya Mr. Ambroise. Itu sudah bulat. Jadi jangan berusaha lagi," ucapnya sinis.
"Diam, Zae! Dad tidak ingin kau jadi pembangkang. Sekarang, duduk dan kita bicara bersama," tegas Troyes membuat Zae segera duduk. "Jelaskan alasanmu."
Zae menatap ayahnya intens. "Bukankah sudah jelas bahwa aku hanya ingin bisa merasakan bagaimana menjadi anak biasa. Mempunyai teman sebaya, pergi ke sekolah, melakukan hal yang tidak pernah ku rasakan sebelumnya. Memangnya itu salah?"
"Tidak perlu di Indonesia. Kau bisa melakukannya di US atau bahkan Dad akan memberikanmu untuk bersekolah di Finlandia, tempat nomor satu untuk pendidikan."
"Aku tidak mau!" sergahnya cepat. "Aku menolak jika harus bersekolah di US atau Eropa. Yang ada aku akan menghabiskan waktu dengan mammy. Wanita tua itu dengan senang hati mengekangku."
"Jaga bicaramu, young lady. Bagaimanapun juga dia adalah nenekmu. Show some respect. Dad tidak pernah mengajarkanmu seperti itu." kilat amarah kini terlihat dari netra hazel itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Conglomerate's Love
General FictionTHE LOVE SERIES #2 17+ Zae Ambroise, gambaran gadis sempurna dambaan umat manusia. Paras cantik, kekayaan tak hingga, dan otak cerdas sebanding dengan Einstein. Siapa sangka ia memilih untuk membangun kehidupan baru di sebuah negeri yang bahkan tak...