Twenty-Seven

236 23 3
                                    

Zae ingin membanting seseorang sekarang juga. Siapapun, tolong serahkan diri padanya. Berulang kali sang ayah menelepon, menyuruhnya untuk segera pulang. Hanya satu yang tidak ia katakan. Minta maaf. Padahal, Zae sangat menginginkan kata-kata itu keluar dari mulut sang ayah. Tenggat waktunya hanya tersisa seminggu, dan Zae belum bisa memberikan jawaban.

Belum selesai masalah itu, ditambah lagi kenyataan bahwa Anna dan Louis bertengkar. Dan itu sungguh menyebalkan. Zae tahu sebenarnya Louis tak sanggup bertengkar dengan pujaan hatinya itu. Tapi, gengsi miliknya tak akan pernah membuatnya meminta maaf duluan.

Zae paham betul resiko yang seperti ini bisa muncul kapan saja. Sebagai salah satu kolega sekaligus teman dekat ibunya, Ella adalah seseorang yang benci dekat-dekat dengan orang asing. Apalagi orang yang tidak jelas latar belakangnya seperti Anna.

Ia tidak bisa mengabaikan Anna begitu saja. Anna menjadi satu-satunya orang yang berada di sebelahnya ketika ia terpuruk. Ia masih ingat betul ketika ia baru kabur ke Indonesia setelah kematian Winter. Anna bersikeras agar Zae tinggal di rumahnya untuk sementara waktu. Bahkan, Anna rela mengeluarkan seluruh uang jajannya untuk membelikan Zae makanan manis agar gadis itu bisa jadi lebih baik. Zae berhutang banyak pada Anna.

Gadis itu tiba-tiba teringat ketika ia tak sengaja mendengar percakapan Anna dengan sang ayah.

...

Malam itu rasanya sepi. Hanya terdengar suara berisik AC tua di kamar Anna. Zae sedang berbaring berusaha untuk tidur. Sementara Anna masih di meja belajarnya, sibuk berkutat dengan banyak hal. Lampu kamar sudah mati, hanya ada penerangan dari meja belajar. Baru saja Zae akan tertidur ketika ia mendengar ponsel Anna berbunyi.

"Halo, Uncle? Ada apa menelepon saya tiba-tiba?" Hal itu sukses membuat darah Zae berdesir. Ayahnya menelepon. Kamar itu cukup sunyi, sehingga Zae bisa mendengar jelas percakapan Anna dengan sang ayah.

"Zae?" Anna menengok sejenak ke arahnya. "Ya, gadis itu sudah tidur."

"Ah, jadi dia benar-benar ada di sana. Apakah dia baik-baik saja, Ann?" tanya Troyes. Suara pria itu terdengar lemah.

"Ya, Uncle. Dia baik-baik saja. Anda tidak perlu khawatir."

"Aku berhutang banyak padamu, Ann," ucap Troyes.

Anna tersenyum lembut. "Dia hanya butuh sedikit waktu. Saya harap Uncle bisa mengerti."

"Tapi ini sudah lebih dari satu bulan, Ann."

"Saya butuh hampir dua tahun untuk mengatasi trauma bullying yang saya alami."

Troyes terdiam. "Maafkan aku."

"Tidak apa, Uncle. Saya sudah tidak mempermasalahkannya. Tapi, intinya bukan itu. Zae bisa jadi butuh waktu lama untuk benar-benar pulih. Baginya, Winter adalah sosok yang begitu spesial, sehingga sulit untuk melupakannya begitu saja."

Tak lagi terdengar suara pria itu. Hanya deru napasnya yang berhembus bersamaan dengan gelapnya malam.

"Apa... yang harus kulakukan, Ann?" tanyanya.

"Mungkin Anda bisa mencoba mendengarkannya? Kadang, ketika seseorang sedang berusaha sembuh dari traumanya, yang ia butuhkan adalah dukungan dari sekitar. Seseorang yang ada ketika ia butuh dipeluk, ketika mereka ingin didengarkan, dan ketika mereka butuh bahu untuk bersandar."

Anna memberi jeda sejenak. Ia bisa mendengar isakan ayah Zae yang terdengar begitu pilu. Ketika seorang ayah menangis, entah kenapa itu lebih menyakitkan.

"Uncle, sebagai seorang anak, saya ingin menyampaikan bahwa yang Zae perlukan saat ini adalah figur ayah yang berdiri bersamanya. Zae ingin Anda berada dipihaknya. Dengarkanlah dia, Uncle."

Conglomerate's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang