Jacques menatap cucunya intens. "Kenapa aku tidak boleh menghubungi Troyes?"
"Tidak boleh. Aku tidak akan mengizinkannya."
"Kau kabur lagi?" tebak Jacques. Tatapannya masih begitu tajam pada Zae. "Jawab aku Zae, kau kabur kali ini?"
Zae memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri. "Ya, aku melarikan diri lagi," jawabnya jujur.
Jacques menghela napasnya pelan. "Berikan ponsel itu. Kita duduk dan bicarakan ini baik-baik," perintahnya.
Zae ragu-ragu. Ia takut kakeknya ini hanya akan menipunya.
"Aku tidak akan menghubungi Troyes, Cantrelle, ataupun Zoe. Kita benar-benar harus berbicara, Zae Ambroise." Kata-kata itu langsung membuat Zae menurut. Gadis itu menyerahkan ponselnya pada sang kakek dan duduk di meja makan.
Zae menarik napas dalam sebelum ia menceritakan segalanya. Mulai dari alasannya ke Indonesia, rencananya masuk CIA bulan ini, sampai kaburnya ia ke Paris.
"Aku tahu tiga tahun lalu kau kabur dari rumah dan itu menimbulkan kepanikan luar biasa semua orang. Ibumu bahkan sampai tidur di kamarmu karena ia sangat stres kehilanganmu. Zae, apa kau sebenarnya sadar kelakuanmu ini hanya menyusahkan banyak orang?"
Zae menunduk dalam. "Aku hanya ingin merasakan jadi anak normal, Pappy," ujarnya lirih. Mendadak gadis itu terisak pelan. Anna menepuk pundak gadis itu, berusaha menenangkan.
Jacques mengusap tengkuknya. Ia sedari dulu tahu, cucunya yang satu ini paling gemar membuat ulah. Tapi sejatinya, baik Zae maupun Zoe hanya anak kecil yang menginginkan hidup normal.
"Sudahlah, Pappy tidak akan lapor pada Troyes. Kalian nikmatilah waktu bebas ini. Zae, kau akan bertanggung jawab akan hal ini."
Wajah Zae berubah cerah. Ia memeluk tubuh Jacques erat sekali. "Merci, Pappy."
"Kau tetap harus membereskan masalah ini. Semuanya akan jadi semakin besar jika kau terus kabur-kaburan."
Setelah selesai makan malam, Zae dan Anna membantu Agathe membereskan segala peralatan yang tadi mereka gunakan.
"Kalian berencana ke negara mana saja, Zae?" tanya Agathe berbasa-basi.
"Ke Belgia, Belanda, Jerman, Swiss, Italia, dan Inggris."
Agathe manggut-manggut mendengar cucunya. Ketika selesai, dua sahabat itu pamit kembali ke kamar untuk beristirahat. Mereka harus bangun pagi untuk melanjutkan perjalanan ke Brussels.
Anna memutuskan untuk mandi lebih dulu. Ia tahu sekali tabiat Zae yang gemar konser di kamar mandi. Hanya butuh lima belas menit sebelum gadis itu keluar dalam balutan piyama satin miliknya. Karena sudah malam, Zae memutuskan untuk segera masuk.
Tak banyak yang Anna lakukan di kamar itu sembari menunggu Zae. Ia tadinya ingin menghubungi sang adik. Namun, ia lupa di Indonesia sudah pukul tiga pagi. Mereka semua pasti masih tertidur. Matanya kini menatap sebuah nakas yang ada di hadapan kasur. Ada beberapa foto yang terpajang di sana. Entah sejak kapan ia sudah melihat-lihat foto itu.
"Kau sedang apa?" tanya Zae yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis itu juga sudah mengenakan piyama untuk segera berlayar ke pulau kapuk.
"Aku sedang melihat foto ini," balas Anna. Zae kemudian menghampiri sahabatnya itu.
"Ah, ini foto mom dan kembarannya." Zae mengusap foto itu. "Ternyata aku dan mom tidak terlalu mirip ketika kecil. Sepertinya wajahku lebih banyak berasal dari dad."
"Eh, ini kembaran aunty? Aku pikir ini ayahmu."
"Bukan. Mom memang punya kembaran, tapi non identik. Kalau dad itu anak ketiga dari empat bersaudara," jelas Zae.
KAMU SEDANG MEMBACA
Conglomerate's Love
General FictionTHE LOVE SERIES #2 17+ Zae Ambroise, gambaran gadis sempurna dambaan umat manusia. Paras cantik, kekayaan tak hingga, dan otak cerdas sebanding dengan Einstein. Siapa sangka ia memilih untuk membangun kehidupan baru di sebuah negeri yang bahkan tak...