Twenty-Six

218 21 0
                                    

"Ya ampun, Zae! Sudah kubilang kau tidak perlu repot," pekik Leah pada sahabat anak perempuannya.

Zae hanya terkekeh pelan. "Saya sudah menumpang di rumah Aunty. Saya merasa tidak enak jika hanya duduk diam tanpa membantu Anda."

Leah menghela napasnya. Wanita paruh baya itu kemudian membiarkan Zae membantunya di dapur. Zae kembali dalam kegiatannya memotong-motong wortel, yang sebenarnya hampir tak pernah lakukan di rumahnya. Berbicara soal rumah, membuat Zae kembali teringat kala itu.

Sudah beberapa lama ia melarikan diri ke Indonesia dan tinggal di rumah Anna. Walau ibunya berulang kali memintanya untuk pulang, tapi tak terlihat itikad dari sang ayah untuk meminta maaf. Sehingga, Zae terus mengurungkan niatnya untuk pulang.

Beberapa hari yang lalu Jay sempat menghubunginya. Dia bilang bahwa pelaku pembunuhan Winter telah ditangkap. Tapi, Zae sudah tidak tertarik dengan hal itu. Yang membunuh mungkin sudah tertangkap, namuni bos mereka masih bisa bernapas. Ya, gadis itu masih sangat mencurigai Greg.

"Oh Tuhan, jam berapa sekarang? Aku harus meminta orang untuk menjemput Axel!" seru Leah. Wanita itu kemudian sibuk mencari ponselnya.

"Biar aku yang menjemputnya, Aunty," tawar Zae. Gadis itu melepas celemeknya dan mengambil kunci motor yang tergantung.

"Kau tidak apa, Zae?" tanya Leah memastikan.

"Ya, tidak masalah sama sekali, Aunty." Zae tersenyum padanya. "Aku akan kembali dengan cepat," pamitnya lagi.

"Jangan mengebut di jalan," peringat Leah.

Zae hanya tertawa pelan mengiakan.

Ducati Panigale V4 itu meluncur dengan kecepatan sedang. Setelah Zae datang ke Indonesia, gadis itu langsung membeli motor yang sama persis dengan kesayangannya yang sekarang tertahan di garasi rumahnya. Tadinya, ia ingin juga membeli sebuah mobil Lamborghini baru. Namun, garasi rumah Anna sepertinya tidak muat untuk menambah satu mobil lagi. Untung saja, ayahnya tidak memblokir kartu kredit dan tabungan miliknya.

Zae akhirnya tiba di sekolah Axel dan juga Anna. Beberapa menit lagi, anak itu akan keluar dari kelasnya. Zae menunggu dan bersandar di motornya. Terlihat juga ada beberapa orang tua lain yang ikut menunggu anak-anaknya. Bel akhirnya berbunyi dan anak-anak mulai berhamburan keluar kelas.

"Tolong panggilkan Axelliano Jeremiah Jean kelas 1A," pinta Zae pada satpam yang berjaga.

Pak Satpam itu kemudian memanggil Axel dengan pengeras suara. Detik berikutnya, Zae bisa melihat seorang anak lelaki yang berlari dengan mata berbinar.

"Zae!" Axel menghambur ke pelukan gadis itu. "Kau yang menjemputku hari ini?" Mata anak itu berbinar senang.

"Tentu saja aku yang menjemputmu, Sayang." Zae mengelus kepala Axel dengan sayang. Ia kemudian menarik tangan Axel menuju motornya.

"Axel!" panggil beberapa bocah. "Wow, ini kendaraanmu?" tanya mereka dengan raut wajah tak percaya.

Axel membusungkan dadanya sedikit angkuh. "Ya, dia ini teman kakakku. Namanya Zae Am– Ambo– siapa nama belakangmu, Zae?"

Zae terkekeh pelan melihat kepolosan Axel. "Ambroise."

"Ya, Zae Ambroise. Dia ini orang kaya!" ucap Axel yang membuat mereka semua menganga lebar.

"Motormu terlihat seperti motor pembalap. Apa kau itu seorang pembalap?" tanya salah satu dari mereka.

"Aku bukan pembalap," jawab Zae ramah.

"Tapi, Zae bisa membalap mobil-mobil kalau aku sudah terlam–" Zae buru-buru membekap mulut Axel agar ia tidak kelepasan berbicara.

"Nak, astaga! Mama sudah mencarimu kemana-mana. Kamu malah menghilang. Ayo, cepat pulang!" Seorang ibu menarik salah satu tangan anaknya untuk pergi dari situ. Anak-anak lain juga ikut membubarkan diri.

Conglomerate's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang