Pria itu menekan ponselnya kuat-kuat. Laporan tadi mendadak membuat pikirannya berkecamuk. Ia tahu hari ini akan datang, namun ia tak menyangka efeknya segini besar.
"Dad memanggilku?" Sebuah kepala muncul dari balik pintu.
"Ya, Zoe. kita harus bicara." Troyes kemudian duduk di sofa dan Zoe di seberangnya
"Ada apa?" Zoe menyilangkan kakinya menatap sang ayah.
Troyes menghela napasnya pelan. "Kau sudah tahu, kan, soal rencana itu?"
Zoe sedikit menegang. "Ya, aku sudah tahu. Bukankah itu alasan utama Zae pergi ke Indonesia?"
"Bagaimana kau tahu kalau itu alasan utama Zae pergi ke Indonesia?"
Zoe menyeringai. "Kau lupa, Dad? Aku dan Zae ini kembar. Kami bisa merasakan perasaan satu dengan yang lain."
Troyes terkekeh pelan. "Aku tak menyangka kalian memiliki kemampuan itu. Aku pikir semua itu hanyalah mitos. But anyways, aku ingin meminta tolong padamu, Zoe."
"Untuk?" Zoe menyipitkan matanya heran.
"Berbicara pada Zae soal ini. Tolong minta dia untuk tidak lagi melarikan diri. Ancaman itu benar-benar nyata, Nak." Mata hazel pria itu tampak berkaca-kaca.
"Aku juga ingin menghentikan ini, Dad. Tetapi, apakah dengan memintanya untuk ikut dapat menyelesaikan semuanya?"
Troyes menarik napasnya dalam-dalam. "Kemarilah, Nak." Zoe segera berpindah duduk di sebelah ayahnya. Gadis itu lalu memeluk tubuh Troyes erat.
"Dad juga tidak ingin ini terjadi pada kalian. Dad akan berusaha untuk menghentikan ini."
"Aku senang dengan pekerjaanku, Dad."
"Kau tidak bisa berbohong padaku, Zoe. Aku sangat mengenalmu."
Zoe tersenyum tipis. Ia tak bohong ketika bilang bahwa ia suka pekerjaannya. Tapi, ia juga tak bohong ketika bilang ia tak iri dengan kehidupan kembarannya.
"Aku akan mencoba bicara padanya," gumam Zoe pelan.
"Maafkan aku, Zoe."
"Dad tidak perlu meminta maaf." Zoe menangis dalam hati. Ia sungguh tidak tega melihat keluarganya tak berdaya seperti ini.
...
"Seharusnya kau bawa mobil sendiri hari ini, River," ucap Zae sedikit kesal.
"Saya hanya ingin mencoba kendaraan umum di negara ini, Nona," jawabnya santai.
Zae mendengus pelan. "Jangan membual."
"Saya serius." River lalu mengeluarkan rokok dari sakunya.
"Jangan merokok di dalam mobil. Aku laporkan pada dad."
"Saya laporkan balik." Zae memukul bahu River pelan. Pria itu memang gemar sekali memancing emosinya. River terkikik geli melihat Zae yang mengerucut. Oh, menyenangkan sekali melihat gadis itu merajuk.
"Kita pesan makanan saja, ya?" pintanya pada River.
"Tidak boleh, semalam Anda mabuk parah. Saya akan memasak makanan yang enak dan sehat untuk Anda."
"Tapi, Anna ingin memesan makanan juga. Kita harus menghormati tamu, kan?" Anna menyikut tangan Zae pelan. Kapan memangnya dia bilang?
"Jangan jadikan orang lain sebagai tameng," tegur Winter.
"Ah, ayolah River. Ya? Kali ini saja?" Zae telah mengeluarkan jurus manja-manjanya ini.
River menggeleng tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Conglomerate's Love
General FictionTHE LOVE SERIES #2 17+ Zae Ambroise, gambaran gadis sempurna dambaan umat manusia. Paras cantik, kekayaan tak hingga, dan otak cerdas sebanding dengan Einstein. Siapa sangka ia memilih untuk membangun kehidupan baru di sebuah negeri yang bahkan tak...