Twenty-Nine

234 24 0
                                    

Zae terbangun dari lamunannya karena sebuah pulpen melayang tepat mengenai kepalanya. Ia bisa melihat Profesor Alan melotot ke arahnya.

"Ambroise, sekali lagi kau melamun di pelajaranku, akan kubuat kau lulus sepuluh tahun lagi!" ancamnya.

Zae hanya bisa menunduk dan meminta maaf. Salah sekali ia sudah memancing emosi profesornya yang satu ini.

Profesor Alan mendengus cukup keras. "Aku bingung kenapa Eugene sangat mengelu-elukanmu. Padahal, kau itu tidak lebih dari anak ingusan yang beruntung mendapat otak cerdas. Perhatikan ke depan!"

Nyenyenyenye. Profesor Alan memang amat membencinya. Oh, tidak heran kenapa. Faktanya, kemampuan Zae terbukti di atas Profesor itu. Bahkan, profesor-profesor lain juga mengakui kemampuan programming Zae adalah salah satu yang terbaik. Itulah yang membuat Prof. Alan iri padanya.

Zae melamun bukan tanpa alasan. Nicholas David. Nama itu terngiang di pikirannya sejak tadi. Ia merasa amat tolol sudah melupakan teman masa kecilnya. Dan selama ini, ia sibuk dengan dunianya sendiri tanpa menengok sekalipun pada pria itu.

Oh Tuhan, cabut saja nyawanya sekarang juga.

Belum lagi, sang ayah ingin berbicara dengannya malam ini. Zae sudah di tahap hampir menyerah untuk memperbaiki hubungan dengan Troyes. Pria itu terlihat bersalah, namun tidak ingin meminta maaf duluan. Gengsi yang amat tinggi. Beda tipis dengan anak bungsunya.

"Ambroise, maju ke depan dan kerjakan soal itu," perintah Prof. Alan.

"Saya, Prof?"

"Menurutmu? Siapa lagi yang bernama Ambroise?"

"Umm, ayah saya?"

Pria paruh baya itu menggeram pelan. "Cepat maju atau kupastikan kau tak akan pernah lulus di mata kuliah ini!" ancamnya yang langsung membuat Zae menurut. Dari telinganya, ia dapat mendengar suara mahasiswa lain yang tengah menahan tawa.

Kelas itu akhirnya selesai. Kelas kedua Zae akan dimulai lagi pukul satu setelah jam makan siang. Masih ada tiga jam lagi sebelum kelas dimulai. Zae akhirnya menghampiri Jonah yang sedang membaca buku.

"Kau baru sampai?" tanyanya.

Jonah meletakan buku yang dipegangnya. Ia lalu menatap Zae yang duduk di sebelahnya. "Saya berangkat tak lama ketika helikopter Anda terbang."

Zae meringis pelan. Ya, gadis itu hampir terlambat lagi hari ini. Beruntung helikopter itu mendarat tepat waktu. Jika tidak, Prof. Alan akan dengan senang hati makin membencinya. Zae kemudian mengambil kotak makan yang ia bawa.

"Jonah mau?" tawarnya.

Pria itu menggeleng pelan sebelum matanya kembali membaca buku. Zae juga makan dalam diam. Pikiran gadis itu terus bertanya-tanya segala hal tentang Nicholas. Bagaimana hidup pria itu setelah ia meninggalkannya? Zae sungguh penasaran.

"Jonah," panggil Zae lagi.

"Ya?" Mata Jonah kini tak teralih dari bukunya.

"Kau masih ingat Nick?" tanyanya yang membuat Jonah seketika berhenti. Pria itu kini menatap Zae dengan tatapan heran.

"Nicholas... David?"

"Ya, teman masa kecilku dulu."

Jonah tak langsung menjawab. Ia meletakkan bukunya dan menghela napas pelan. Siapa yang tidak ingat pria itu? Jonah tahu betul anak laki-laki itu mencintai Zae teramat besar. Saat kecil bahkan ia tak mau berpisah barang sedetikpun dengan gadis itu.

"Sepertinya aku bertemu dengan Nick, Jonah."

Jonah membulatkan matanya. "Apa maksud Anda, Nona?"

Conglomerate's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang