Hari-hari Zae berjalan menyenangkan ketika kehadiran Nicholas dalam hidupnya. Mereka menghabiskan akhir pekan selayaknya kekasih pada umumnya. Menonton film, makan malam romantis, bahkan tak jarang Zae menghampiri Nicholas di kantornya. Banyak rumor berkeliaran, tapi dengan segala kekuasaannya, Zae bisa meredam rumor itu.
Namun, sepertinya memang semesta (dan author) tidak pernah membiarkannya bahagia terlalu lama. Zae mulai mempertanyakan, apakah di kehidupan sebelumnya ia adalah pengkhianat negara? Semua ini dimulai ketika sang ayah dan kembarannya kembali mengeluarkan permintaan tidak masuk akal.
"Tunggu dulu." Zae mengangkat satu tangannya. "Jadi, Dad dan Zoe ingin aku bergabung kembali dengan CIA?"
"Ya, seperti yang sudah kami jelaskan."
"Kenapa? Apa yang harus membuatku kembali ke tempat terkutuk itu?" tanya Zae tajam.
"Karena... tidak ada orang yang lebih baik darimu soal IT, Zae. Mereka masih membutuhkan bantuanmu," jelas sang ayah. Tersirat nada ragu dan canggung di sana.
Meh, alasan itu lagi. Zae sudah bosan mendengarnya. Mereka butuh bantuanmu. Tidak ada yang lebih baik darimu soal IT. Cih, basi sekali. Memangnya kemampuan ini hanya milik dia seorang? Yah, kalau ditanya kehebatan Zae memang tidak ada tandingannya. Belum mungkin.
Dan inilah yang terjadi lagi. Gadis itu kembali ke pelariannya. Datang ke Indonesia. Begitu ia mengurung diri, ia kembali kabur secara diam-diam. Beruntungnya lagi, mansion itu sepi sehingga mempermudah ia untuk langsung pergi.
Ia datang pada waktu pagi di Jakarta. Sudah ramai orang berlalu-lalang naik turun pesawat. Zae memutuskan untuk makan sebentar sembari menghubungi Anna. Anehnya, gadis itu tidak menjawab satu panggilan pun. Ah, mungkin Anna sedang sibuk belajar. Seingat Zae, gadis itu akan menghadapi ujian masuk universitas beberapa bulan lagi.
Gadis itu masuk ke salah satu restoran cepat saji yang ada di sana. Dan saat itu dia baru sadar, ada puluhan panggilan internasional yang berusaha untuk menghubunginya. Sang ayah dan juga ibunya. Zae tidak peduli. Ia memasukan telepon genggamnya dan memilih untuk mendiamkan segalanya. Ia butuh sedikit waktu untuk bernapas.
Sampai makanannya tandas, Zae masih berupaya untuk menghubungi Anna. Perasaannya mendadak tidak enak. Ah, ia tidak boleh terlalu berburuk sangka. Sedetik kemudian, gadis itu meninggalkan bandara menuju kediaman Jean.
Perjalanan butuh sekitar satu jam sampai Zae tiba di sebuah rumah yang terlihat sangat sederhana jika dibanding dengan milik Ambroise. Rumah itu sepi dan entah kenapa Zae bisa merasakan sedikit rasa mencekam dari rumah itu.
"Zae?" panggil seseorang. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Zae menengok pada arah suara itu. Ia melihat Will, kakak Anna, berjalan ke arahnya. "Apakah Anna ada?" tanya Zae padanya.
Will menggeleng pelan. "Dia bilang sedang pergi ke rumah temannya untuk mengerjakan tugas."
Oh, Zae tahu Anna pergi ke mana. Setelah ia menitip tas sebentar di rumah Anna, gadis itu segera berlari ke sebuah taman yang tidak jauh dari sana. Ah, semoga saja pikirannya salah. Hatinya benar-benar lega ketika melihat sahabatnya itu terduduk di salah satu kursi taman.
Zae menghampiri Anna dan mendengarkan segala keluh kesahnya. Ia memeluk sahabatnya erat dan berusaha memberi kekuatan padanya. Mungkin di saat seperti ini, hanya mereka yang bisa saling mengerti perasaan satu sama lain.
"Kenapa kau tiba-tiba ke Indonesia?" tanya Anna ketika ia sudah lebih tenang.
"Karena ayahku menyebalkan."
Anna mengerutkan dahinya heran. "Maksudmu?"
Zae tidak langsung menjawab. Ia justru berdiri dan menarik tangan Anna untuk menjauh dari taman itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Conglomerate's Love
General FictionTHE LOVE SERIES #2 17+ Zae Ambroise, gambaran gadis sempurna dambaan umat manusia. Paras cantik, kekayaan tak hingga, dan otak cerdas sebanding dengan Einstein. Siapa sangka ia memilih untuk membangun kehidupan baru di sebuah negeri yang bahkan tak...