Thirty-Six

228 28 7
                                    

Minggu-minggu itu jadi minggu yang amat berat bagi keluarga Ambroise. Zae masih dalam kondisi kritis dan hanya keajaiban yang bisa menyelamatkannya. Bantuan baru datang setelah lima belas menit kemudian. Beruntung mereka bisa membawa Zae ke rumah sakit tepat waktu. Terlambat sedikit saja, mungkin mereka sudah melakukan pemakaman untuk gadis itu.

Greg juga sudah ditangkap. Pria itu bisa saja mendapat hukuman yang berat karena telah melakukan banyak kejahatan. Sidang akhir untuk memutuskan hukuman Greg baru akan dilaksanakan minggu depan. Mereka berharap pria itu mendapat hukuman setimpal... walau akan sedikit sulit.

Semua orang menunggu Zae dengan harapan cemas. Mereka semua tidak pernah tidur dengan nyenyak sejak hari itu. Bahkan, ketika ada telepon dari rumah sakit, mereka akan kalang kabut ketakutan. Takut berita yang dibawa adalah berita buruk yang justru tidak ingin mereka dengar.

"Tenanglah, Zae pasti bisa melewati ini semua." Kakak kedua Troyes, Hugo berusaha memberi semangat. "Aku sudah mengerahkan tenaga medis yang terbaik yang kupunya untuk menyelamatkan anakmu."

Ya, Hugo adalah pemilik rumah sakit tempat Zae dirawat sekarang sekaligus dokter yang merawatnya. Keluarga Ambroise tidak mempercayai rumah sakit lain selain milik kakaknya itu. Mereka tidak ingin hal ini dimanfaatkan oleh sekelompok orang-orang yang ingin memanfaatkan berita ini untuk menjatuhkan mereka,

"Katakan padaku yang sejujurnya, bagaimana kondisi anakku sekarang?" tanya Troyes meminta kepastian.

Hugo menghela napasnya berat. "Dia kehilangan hampir lima puluh persen darahnya. Kalau saja River terlambat datang membawanya, ia mungkin sudah tiada sekarang. Zae sedang berjuang untuk melewati masa kritisnya, Troyes."

Troyes menenggelamkan wajahnya. Pria itu kini merasa sangat bersalah. Zae... anak bungsunya mungkin memang kurang ajar. Tapi, Troyes sangat menyayangi anak itu. Jika Zae tidak selamat kali ini, entah bagaimana ia nanti.

Nicholas tidak pernah absen mengunjungi kekasihnya. Pria itu terus berada di sisi Zae selama ia dalam kondisi kritis.

"Aku mohon bangunlah, Pumpkin," ucapnya sembari memegang tangan kanan Zae. "Kita bahkan belum melakukan banyak hal. Aku baru saja menemukanmu setelah dua belas tahun, kau tidak boleh meninggalkanku lagi." Air mata menitik dari manik biru Nicholas. Hatinya amat hancur ketika ia melihat Zae terbaring lemah.

Tiba-tiba saja pintu ruangan Zae terbuka. Nicholas dapat melihat Troyes, Cantrelle, Zoe, dan Jay masuk ke ruangan itu.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Zoe lemah. Gadis itu juga tidak bisa tenang sejak hari di mana kembarannya tertembak.

"Masih belum ada perubahan," jawab Nicholas.

"Ini semua salahku."

"Zo, kau harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri." Jay menepuk pundaknya.

Zoe menggeleng pelan. "Kalau saja aku menghindari peluru itu, Zae tidak perlu menggunakan tubuhnya untuk menghalangi peluru itu. Dan sekarang–"

Jay buru-buru mendekap Zoe agar ia tak melanjutkan kalimatnya. "Itu semua tak bisa kau hindari, Zo. Berhentilah menyalahkan dirimu. Itu hanya akan membuat Zae sedih."

"Jay benar, Zoe. Zae tidak akan suka jika kau terus menyalahkan dirimu seperti ini." Nicholas tersenyum hangat padanya. "Zae pernah bilang padaku, dia sangat ingin bisa melindungimu. Aku bisa membayangkan betapa ia senang mengetahui bahwa ia berhasil melakukannya."

Zoe justru semakin menangis dalam dekapan Jay. Ia tahu bahwa kembarannya itu selalu berusaha melindunginya. Sejak kecil memang begitulah Zae.

"Kita harus percaya Zae akan segera bangun, Zo," ujar sang ayah.

Conglomerate's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang