Thirteen

278 22 3
                                    

Sudah beberapa hari ini Zae mendadak uring-uringan. Badai salju yang menyerang kota New York benar-benar membuat mood-nya hancur. Sialan, padahal ia berencana mengajak Anna balapan dan mungkin pergi ke bar. Tapi, itu semua harus sirna karena badai mendadak ini. Lusa mereka akan kembali ke Indonesia dan badai ini diperkirakan masih akan terjadi sampai besok.

"Ann, maafkan aku. Aku sebenarnya ingin mengajakmu jalan-jalan," ucapnya dengan wajah memelas.

Anna menghela napasnya pelan. Sudah lebih dari sepuluh kali Zae terus meminta maaf seperti ini. "Bukan salahmu, Zae. Lagipula, aku juga senang walau hanya berada di rumah. Ibu dan ayahmu menyenangkan."

Zae benar-benar merasa tidak enak. Karena itu, ia selalu berusaha mengajak Anna bersenang-senang di rumahnya. Apalah daya, Anna memang tidak begitu suka bermain game apa lagi minum alkohol. Gadis itu biasanya hanya melihat dan memperhatikan sekitar.

Misalnya saja sekarang, ia hanya menonton Zae yang asyik bermain game bersama teman-temannya.

"Astaga Paul, sifat tololmu itu tidak hilang, ya?" keluh Victor lewat panggilan suara. Berkali-kali Paul hampir menghancurkan tim mereka.

Cih, suasana hati Zae mendadak makin buruk. Kekalahan tim mereka kali ini membuatnya ingin memecahkan kepala siapapun.

"Bisakah kita membuang Paul ke kolam hiu sekarang?" River juga ikutan kesal karena kebodohan Paul yang merugikan mereka semua.

"Ini aku sedang berusaha mencari kolam hiu untuknya," sahut Winter.

"Hei, ayolah jangan marah padaku. Zae juga sedikit menyusahkan kita kali ini." Paul berusaha membela dirinya. Ia tidak mau hanya dia yang menjadi bahan rundungan.

"Paul bodoh, tolol, dungu, babi ngepet, anak setan, sekutu dajjal," umpat Zae tanpa henti dengan bahasa Indonesia.

Winter tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Oh, hanya Zae dan Winter yang dapat mengerti kata-kata itu.

"Aku bersumpah akan segera belajar bahasa Indonesia setelah ini."

Zae tidak bergairah untuk menanggapi Paul. Gadis itu dengan segera memutus sambungan suara dan mematikan komputernya. Ia bahkan tidak menyadari bahwa Anna sudah tidak ada di sebelahnya. Baru saja Zae mau keluar kamar, tiba-tiba Anna masuk dan menutup pintu dengan cukup keras. Wajah gadis itu terlihat memerah.

"Kenapa?" tanya Zae heran.

Anna tidak menjawab. Ia pergi ke kasur dan menenggelamkan wajahnya di bantal. Zae gemas sekaligus penasaran dengan kelakuan sahabatnya itu. Ia memutuskan untuk keluar dan melihat sendiri apa yang membuat sahabatnya itu malu.

Mulutnya benar-benar menganga ketika ia baru saja turun. Ia melihat ayahnya yang hanya memakai boxer dan kimono satin yang tidak terikat. Oh, pemandangan ini mungkin biasa baginya. Tapi, tentu tidak bagi Anna. Gadis itu segera menghampiri ayahnya yang sedang membaca dan memukul perut kotak-kotak itu. Troyes mengaduh pelan.

"Kenapa kau memukulku?" tanyanya sambil mengusap perutnya.

Zae memutar mata kesal. Ia menunjuk tubuh bagian atas ayahnya yang tak tertutup apapun. "Anna terkejut melihat Dad yang berpenampilan seperti ini. Dan itu," ia menunjuk lagi bagian bawahnya, "Tolong tutup bagian itu juga."

Baru saja Zae berbalik, tiba-tiba Troyes menarik tangan gadis itu dalam pelukannya. Zae memekik pelan.

"Dad." gadis itu cukup terkejut dengan kelakuan ayahnya.

"Sebentar saja. Sudah lama kita tidak melakukan hal ini."

Zae menyerah. Ia akhirnya masuk dalam pelukan hangat ayahnya, menyesap aroma maskulin itu dalam-dalam.

Conglomerate's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang