Twenty-Four

237 24 10
                                    

Pemakaman Winter berjalan tertutup. Hanya kerabat dan teman dekat saja yang menghadiri pemakaman itu. Paman dan bibi Winter menyambut para tamu dengan perasaan yang cukup terpukul. Kedua orang tua Winter sudah lama meninggal, sehingga pria itu hanya diasuh oleh paman dan bibinya.

Zae hanya menatap peti mati itu dengan tatapan kosong. Setelah orang-orang itu pergi, polisi datang bersamaan dengan Jonah dan Zoe. Namun, itu semua sudah terlambat. Winter telah pergi untuk selamanya.

"Mana bisa aku tersenyum bahagia tanpamu, Winter," gumamnya pelan. Air mata kembali menitik dari manik mata keemasan itu. Ia menundukan kepalanya.

Sebuah tangan mengelus punggungnya berusaha menenangkan. Pria itu mendekap Zae dengan sayang.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir.

Zae menggeleng pelan. "Ini semua salahku, Dad."

"Ini bukan salahmu, Zae. Polisi akan segera menangkap mereka." Troyes mengecup kening anak gadisnya. "Jadi, jangan terus menyalahkan dirimu sendiri. Winter pasti tidak akan menyukainya."

Zae tidak menjawab ayahnya. Ia hanya menatap ke depan dengan perasaan sakit. Pastor pun akhirnya datang untuk memimpin ibadah. Orang-orang duduk di tempat mereka masing-masing.

Zae hanya mengikuti alur ibadah itu. Ia saat ini tidak bisa merasakan apapun selain kesedihan yang mendalam. Winter... Zae tahu pria itu tidak pernah menyalahkannya. Ia mungkin salah satu penyebab kematian Winter. Tapi, pria itu sampai akhir hayatnya bahkan berkata bahwa ia mencintai Zae.

"Kami persilakan, Nona Zae Ambroise untuk menyampaikan pidato kepada mendiang, Winter Kane."

Zae mendongak bingung. Pidato? Apa ia pantas melakukan hal in? Gadis itu menoleh pada keluarga Winter. Sang bibi tersenyum dan mengangguk, seakan memberi kekuatan bagi Zae untuk menyampaikan kata-katanya.

Gadis itu berdiri dan berjalan menuju mimbar. Ia menatap orang-orang yang ada di sana. Keluarga besar Winter, keluarganya sendiri, River, Jonah, Johan, Jay, Victor, Paul, bahkan Greg datang untuk melepas kepergiaan Winter.

Kerongkongan Zae langsung tercekat ketika ia menatap peti mati yang ada di hadapannya. Ia bisa melihat wajah damai Winter dan seulas senyum tipis di sana. Air matanya kembali menetes.

"Winter... adalah seseorang yang selalu punya tempat spesial di hati kita semua. Dia adalah teman, sahabat, partner, yang selalu setia. Bagiku pribadi, Winter sudah seperti ayah kedua untukku. Setiap kali aku berbuat masalah, dia yang akan pasang badan untukku dan membelaku habis-habisan." Zae tertawa getir.

"He's always there for me. Terkadang ketika aku terpuruk, Winter akan terus berusaha untuk menghiburku. Memberikan lelucon-lelucon demi membuat hatiku membaik. Winter mengajariku banyak hal. Tentang kesetiaan, tentang kebahagiaan, bahkan tentang cinta. Ia selalu berkata padaku bahwa ia mencintaiku. Bahkan sampai akhir hidupnya, Winter berkata bahwa ia mencintaiku seperti anak sendiri." Gadis itu kembali terisak.

"Sekarang... Winter telah pergi meninggalkan kita semua. Aku tahu bahwa semua orang akan menghadapi kematian cepat atau lambat. Namun, rasanya masih seperti mimpi. Aku masih bisa mengingat jelas tawa Winter yang kudengar hampir setiap hari. Ocehannya ketika aku berbuat ulah. Dan... itu semua telah pergi."

Zae tersenyum menatap para jemaat dan Winter. "Namun, sejauh apapun Winter pergi, semua kenangan dan kebaikannya akan selalu melekat di hati kita. Winter mungkin pergi untuk selama-lamanya, tapi cinta dan kasihnya tidak pernah beranjak." Zae berhenti. Ia sudah tidak sanggup melanjutkannya, sehingga ia turun dari mimbar.

Pastor kembali melanjutkan ibadah ini. Sebelum menutup peti, orang-orang dipersilakan untuk melihat wajah Winter untuk yang terakhir kalinya.

Zae terpaku menatap wajah Winter. Ia mengelus tangan dingin pria itu sebelum akhirnya para petugas menutup peti mati Winter. Mereka akan segera memakamkannya. Tangisan kembali pecah tatkala peti itu ditutup.

Conglomerate's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang