Hari, bulan, dan tahun terus berganti. Wanita berusia 22 tahun itu tampil cantik dengan toga berwarna abu-abu dan merah.
"Mom, aku bukan anak kecil lagi. Jadi, jangan suruh aku berpose yang aneh-aneh," ucap Zae kesal. Sementara, ibunya sama sekali tidak peduli. Yang ia inginkan adalah ribuan foto di hari kelulusan Zae.
Ya, hari ini adalah hari besar Zae. Gadis itu telah menyelesaikan pendidikannya dan resmi mendapat gelar PhD. Walau kemarin sempat cuti selama setahun, pada akhirnya Zae bisa lulus dengan predikat summa cum laude.
"Sudahlah, kau nikmati saja, Pumpkin," sahut Nicholas. Pria itu memeluk tubuh Zae dari belakang sembari mengecup pipi gadis itu. "Biarkan semua orang juga ikut bahagia di hari kelulusanmu, Babe."
Zae mengerucut. Namun, perkataan Nicholas ada benarnya. Hari ini ia harus menjadi orang yang paling bahagia. Yah, biarlah sang ibu mengambil gambarnya sebanyak mungkin. Anggap saja latihan sebelum ia diteror media nantinya.
"Acaranya sudah hampir mulai, sebaiknya kita mencari tempat duduk," ajak Troyes sambil melihat arloji yang melingkar di tangannya.
"Baik, kalau begitu sampai ketemu nanti." Zae melambaikan tangannya kemudian berjalan menuju kursi yang sudah disiapkan baginya. Banyak wartawan berkumpul. Mereka semua ingin melihat kelulusan pewaris selanjutnya dari AM Group.
"Lulusan terbaik, sekaligus peraih gelar PhD. termuda di jurusan Computer Science, Zae Leona Ambroise." Tepuk tangan bergemuruh di auditorium tersebut. Kilatan blitz kamera juga muncul bertubi-tubi tatkala Zae maju untuk menerima ijazahnya.
Senyum merekah lebar di wajah gadis itu. "First of all, I want to say thank you to my Mom and my Dad, for being the most amazing parents for me. Terima kasih untuk semua cinta kasih yang selalu kalian berikan sampai akhirnya aku bisa berdiri di sini."
Troyes dan Cantrelle menatap bangga putri bungsunya itu. "Terima kasih untuk kembaranku, Zoe. Kau memang menyebalkan, tapi tetap saja kau itu yang terbaik." Para hadirin tertawa ketika mendengar kata-kata Zae. Sementara Zoe hanya memutar matanya sebelum ikut tertawa.
"Nicholas David, terima kasih untuk selalu ada ketika aku membutuhkan dukungan. Ketika aku berusaha menyelesaikan disertasiku, kau membantuku dan meyakinkanku untuk bisa melewati ini semua. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Eugene dan Prof. Alan, yang telah mengajar saya sejak saya mengambil bachelor degree. Profesor juga yang terus membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini."
Prof. Eugene tersenyum bangga pada mahasiswi kesayangannya itu. Sementara Prof. Alan, hanya menampilkan wajah datar dengan seulas senyum tipis. Zae menatap orang-orang di auditorium. "Terakhir, saya harap setelah menyelesaikan program ini, saya bisa menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat. Lewat ini semua, saya harap kontribusi saya dalam masyarakat bisa lebih baik dari sebelumnya. Itu saja dari saya, sekali lagi, terima kasih banyak."
Para hadirin kembali bertepuk tangan. Zae menghela napasnya lega. Satu lagi langkah dalam hidupnya sudah selesai. Setelah ini, ia akan terjun ke dunia nyata sebagai pewaris AM Group. Banyak yang harus Zae pelajari sebelum menduduki posisi menggantikan sang ibu.
"Congratulations for your graduation, My Pumpkin," ucap Nicholas sambil memberi sebuah buket bunga untuk kekasihnya.
"Thank you, Nick," balas Zae. Ia memeluk tubuh kekar pria itu erat. Ia kemudian berbalik menatap kedua orang tuanya.
"Kami sangat bangga padamu, Sayang." Troyes tersenyum lebar pada anak bungsunya.
Zae gantian menghambur ke pelukan sang ayah. "Terima kasih banyak, Dad. Aku tidak akan sampai di sini kalau bukan karena Dad.
"Akhirnya kau lulus juga. Aku pikir kau akan menua di kampus," tukas Zoe.
"Enak saja! Itu tidak mungkin terjadi padaku. Kau tahu, bahkan Prof. Alan memuji disertasiku berkali-kali."
"Aku hanya memujimu sekali, jangan hiperbola." Prof. Alan dan Prof. Eugene menghampiri mereka. "Itu pertama dan terakhir kalinya aku memujimu."
Bibir Zae merengut karena kesal. "Kenapa Anda tidak pernah sudi memuji saya? Apakah itu karena saya jauh di atas Anda?"
Kata-kata Zae sukses membuat Prof. Alan melotot ke arahnya. "Cih, kemampuanmu itu biasa saja."
"Sudahlah Alan, kau itu diam-diam sering memuji Zae. Gengsi sekali," tukas Prof. Eugene.
Semua orang di sana tertawa dan mau tidak mau Prof. Alan tersenyum tipis.
"Jangan gengsi memujiku, Prof."
"Cih, Eugene itu tukang tipu."
...
"Ah, kepalaku sakit." Zae memijat keningnya. Selama ini ia terus mempelajari cara kerja AM Group. Dan ternyata, bisnis itu tidak semudah yang ia pikirkan. Zae jadi merasa sedikit bersalah kalau mengingat betapa banyak uang yang ia hamburkan. Sedikit....
Seorang pria memasuki ruangan Zae. Tidak perlu melihat, Zae sudah tahu siapa pria yang masuk tanpa permisi itu.
"Kau tidak perlu bekerja terlalu keras, Pumpkin," ujarnya sambil memeluk leher gadis itu. "Bukankah aku sudah katakan, bahwa aku akan terus berada di sisimu untuk mengurus segalanya."
"Aku tahu itu, Nick. Tapi, bukankah memalukan kalau pewaris yang mendapat gelar PhD. ini tidak paham sama sekali?"
Nicholas terkekeh geli. "Terus saja bawa gelar PhD-mu itu."
"Kau iri?" Zae menatap kekasihnya dengan satu alis terangkat.
"Iri padamu? Tidak sama sekali. Kenapa pula aku harus iri dengan gelarmu?"
"Yah, aku dengar di internet, banyak laki-laki yang merasa perempuan itu tidak layak memiliki gelar yang lebih tinggi dari lelakinya. Jadilah, mereka melarangnya."
"Kalau begitu, cari saja perempuan yang lain. Merepotkan sekali." Penuturan Nicholas membuat Zae terbahak. Benar juga. "Lalu, apakah kau akan melarangku jika aku mau meraih gelar sepertimu?"
Dengan cepat Zae menggeleng. "Apa hakku untuk melarangmu. Kalau kau mau, silakan saja. Tapi, ku beri info, PhD. itu susah sekali. Aku saja ingin pingsan saat membuat disertasi."
Kedua kekasih itu kembali tertawa. Seperti inilah mereka sehari-hari. Menghabiskan waktu berduaan sampai Troyes yang harus turun tangan menyeret Nicholas pulang. Tidak akan pernah kapok. Atau mungkin mereka sebenarnya senang saja menggoda Troyes.
Nicholas berdeham pelan. "Zae, ada yang ingin aku tunjukan padamu," katanya.
Zae dapat melihat gerak-gerik Nicholas yang sedikit gugup, namun ia diam saja. Pria itu kemudian menarik tangan Zae untuk pergi ke halaman belakang. Taman itu gelap dan tidak ada satupun lampu yang menyala di sana. Padahal, biasanya cahaya di sini terang sekali sampai bisa membuat sakit mata.
"Kenapa kita pergi ke tempat ini?" tanya Zae bingung. Akan tetapi, Nicholas sudah tak lagi ada di sampingnya.
"Nick?" panggilnya takut-takut. Ah, sialan sekali. Zae tidak suka hal horor.
"Nicholas David, sudah kubilang aku paling benci dengan hal berbau horor." Tiba-tiba lampu taman menyala. Ia dapat melihat banyak orang berdiri di hadapannya dengan jubah hitam.
"Aku tidak takut dengan iblis. Aku lebih takut dengan Tuhan. Jadi kalau kalian ingin menyerangku, aku balas dengan air baptis. Kalian tahu? Kolam renang ini sering dipakai untuk baptis selam," ancamnya takut-takut. Entah kenapa Zae bisa mendengar suara cekikikan dari orang-orang itu.
"Memangnya kuntilanak bisa ke Amerika?" Saat itu, lampu neon di belakang para manusia berjubah kembali menyala.
Zae membeku ketika melihatnya. Ia perlahan berbalik dan ia dapat melihat seorang pria berlutut sembari memegang kotak beludru berisi cincin berlian yang amat indah.
"Zae Ambroise, will you marry me?"
💑💍🥰😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Conglomerate's Love
General FictionTHE LOVE SERIES #2 17+ Zae Ambroise, gambaran gadis sempurna dambaan umat manusia. Paras cantik, kekayaan tak hingga, dan otak cerdas sebanding dengan Einstein. Siapa sangka ia memilih untuk membangun kehidupan baru di sebuah negeri yang bahkan tak...