Bagaimana caranya lari dari tempat yang dijaga lebih dari sepuluh bodyguard tanpa melukai diri sendiri? Itu yang terus muncul dalam pikiran Zae. Tiga orang yang kini duduk di hadapannya menatapnya intens.
"Jadi kalian baru bisa menemukanku setelah dua minggu? Aku berpikir kalian lebih hebat dari itu," katanya yang sukses mendapatkan tatapan tajam dari ketiga orang di hadapannya.
"Tutup mulut kotormu itu, bajingan! Kau pikir kau yang paling hebat, hah? Trik kotormu itu hanya sampah." Zoe memukul belakang kepala kembarannya membuat Zae sedikit mengaduh.
"Hentikan, Zoe. Biar Dad dan Mom yang bicara padanya. Sekarang, keberatan menjelaskan semua tingkah konyol yang kau lakukan dua minggu ini?" tanya sang ayah. Wajahnya terlihat lelah. Lingkaran hitam matanya menggambarkan bahwa pria itu belum tidur cukup.
Zae masih terdiam. Ia memalingkan wajahnya ke jendela. "Zae Ambroise! Jawab pertanyaan ayahmu," teriak sang ibu yang juga murka akan tindakan putrinya itu.
Zae tersenyum sinis. "Tadi manusia jahanam itu memintaku untuk menutup mulut. Makanya, aku memilih untuk menutup mulutku saja." kata-kata itu sukses membuat Zae mendapat tamparan keras dari Zoe.
"Sekali lagi kau melontarkan hal yang tidak masuk akal, akan kubuat kau menyesal telah menjadi kembaranku," ancamnya.
"Cih, aku sudah lama menyesal lahir bersamamu. Kalau saja aku bisa memilih, aku juga ogah berada di atap yang sama denganmu."
"Cukup kalian berdua. Zae, jangan mengalihkan perhatian. Jawab pertanyaanku, kenapa kau mendadak pergi ke Indonesia saat itu. Kita bahkan belum sepakat." Troyes mengulang pertanyaannya.
Zae terdiam lama sebelum akhirnya ia membuka mulutnya. "Aku hanya ingin punya kehidupan yang lebih baik daripada di Amerika sana. Menjalani hidup layaknya anak normal, mendapatkan teman baru, dan melakukan hal yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Memangnya salah? Hidupku selama ini hanya menjadi boneka orang lain. Aku hanya ingin hidup bebas dan lepas."
Pernyataan Zae sukses membuat kedua orangtuanya tertegun. Ruang tamu apartemen itu lenggang sejenak. Zae berdiri dan segera meninggalkan ruang tamu yang kini membisu. Ia membanting pintu kamar dan membaringkan tubuhnya.
"Seharusnya aku kabur saja hari ini," gumamnya lirih. Zae menatap foto keluarganya yang terpajang di meja kecil samping kasurnya. Foto ketika keluarganya masih terasa begitu lengkap. Mereka semua tersenyum amat bahagia di foto itu. Zae menggelengkan kepalanya berusaha menghapus kenangan indah yang melintas di kepalanya. Itu dulu. Sekarang, ia harus berusaha menghadapi kehidupan baru yang menunggunya. Mau seberapa keras ia berdoa kepada Tuhan, Ia tak akan mengembalikan Zae ke kehidupan sebelumnya. Lupakan kenangan itu Zae Ambroise, batinnya.
BRAK
Pintu terbuka cukup keras. Seorang gadis dengan wajah yang sama dengannya melangkah masuk. Zae memutar matanya malas. Orang yang sekarang berdiri menatapnya marah adalah orang terakhir yang ingin ia lihat saat ini.
"Aduh, apa maumu, sih?" tanyanya ketus ketika Zoe menarik tangannya untuk duduk.
Zoe menatap sekeliling kamar Zae. Ia menatap kembarannya sinis. "Menukar kehidupan glamour-mu di US dan memilih untuk tinggal di tempat menyedihkan seperti ini, membuatku bertanya apa yang salah dengan otakmu itu."
"Bukan hakmu untuk menentukan jalan hidupku, Zoediot." Zae melotot padanya.
"Oke, mari bicara serius sekarang."
"Kau itu aneh. Kalau ingin bicara serius, lakukan baik-baik. Bukannya menghantam pintu seenaknya. Otakmu sudah pindah ke bokong sepertinya."
Zoe melotot pada kembarannya itu. Ya, inilah mereka. Kalau orang lain pikir bahwa anak kembar akan selalu akrab sehidup semati, maka dua orang ini pengecualian. Mereka selalu saja beradu mulut bahkan tak jarang adu jotos.
KAMU SEDANG MEMBACA
Conglomerate's Love
General FictionTHE LOVE SERIES #2 17+ Zae Ambroise, gambaran gadis sempurna dambaan umat manusia. Paras cantik, kekayaan tak hingga, dan otak cerdas sebanding dengan Einstein. Siapa sangka ia memilih untuk membangun kehidupan baru di sebuah negeri yang bahkan tak...