Seorang pria berusia 28 tahun terlihat sedang fokus di ruang rapat. Ketika rapat membosankan itu selesai, barulah sifat aslinya muncul. Suasana hatinya sudah jelek sejak semalam karena ia baru putus dengan pacarnya. Alasannya adalah pria itu diselingkuhi mantan kekasihnya. Sialan sekali.
"Xander David, ke ruangan Mom sekarang juga," perintah sang ibu.
Dengan malas Xander berjalan mengikuti ibunya. Ia sudah pasti akan diomeli lagi. Mereka berdua duduk berhadapan di sofa ruangan ibunya. Zae menatap putra sulungnya itu intens.
"Katakan padaku, kenapa kau datang terlambat tadi?" tanya ibunya langsung.
Xander memutar matanya bosan. "Sudah kubilang, Mom. Aku terlambat karena menonton bola." Itu sebenarnya alasan yang dibuat-buat. Alasan sebenarnya adalah ia galau sekali karena ditinggal pacarnya. Lebih tepatnya, mantan pacar.
Zae menghela napasnya berat. "Mom itu paling mengenalmu." Wanita itu kemudian membuka tangannya lebar, "Kalau kau ingin bercerita, Mom akan selalu mendengarkanmu, Xander."
Xander tersenyum tipis. Ia menghampiri sang ibu dan diam di pelukannya. "Tidak apa-apa, Mom. Aku minta maaf sudah mengacaukan hari ini."
"Tidak apa," jawab Zae sambil tangannya mengusap rambut Xander. "Lain kali, jangan seperti itu atau Mom akan berpikir untuk memberikan perusahaan ini pada Karina."
"Tidak perlu, Karina akan mewarisi perusahaan lain."
Zae mengernyit heran. "Apa maksudnya?"
"Tidak ada." Xander mengecup pipi sang ibu sebelum kakinya melangkah pergi keluar dari ruangan ibunya.
"Xander David, masih banyak wanita lain yang lebih baik di luar sana. Kau tidak perlu begitu hanya karena putus."
Kata-kata Zae membuat langkah Xander terhenti. Ia menatap ibunya dengan tatapan bingung. "Bagaimana Mom–"
"Mom masih punya banyak pekerjaan begitu juga dengan kau. Jadi, cepatlah selesaikan pekerjaanmu itu," potong Zae cepat.
Xander tersenyum tipis pada sang ibu sebelum ia pergi dari ruangan itu. Oh, jangan tanya bagaimana. Zae memang tidak suka memeriksa ponsel anak-anaknya. Namun, jika sesuatu seperti ini terjadi, ia tak segan mencari segalanya sampai ke dasar. Jangan sebut dia sebagai peraih gelar PhD. Computer Science termuda jika seperti ini saja tidak bisa.
"Hah, Xander David. Cepatlah menikah supaya aku dan kakekmu bisa melihat anakmu," gumamnya pelan. Wanita paruh baya itu kemudian mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang. "Judah? Apakah kau bisa membantuku?"
...
Alkohol selalu menjadi pelariannya. Meski sekarang marganya David, darah Ambroise tentu akan selalu mengalir deras di nadinya. Dan inilah yang selalu ia lakukan kala stres.
"Penakluk wanita menjadi gila hanya karena diselingkuhi? Dunia sepertinya akan kiamat," gurau Xavier sambil tertawa-tawa. Yang lain juga ikut terbahak mendengarnya.
"Kalian semua berisik sekali," tukasnya.
Xavier kini malah menampakkan wajah tak berdosanya. "Untung saja aku lahir lebih lama. Jadi, aku tidak mendapat teror grandpa untuk segera menikah dan punya anak."
"Kenapa kau memilih karir lain, Xav? Bukankah setidaknya kau bisa jadi CEO AM Group?" tanya Aksara.
"Cih, malas. Aku tidak suka bisnis dan tetek bengeknya. Bukankah lebih mudah juga bagi pebisnis macam kalian untuk memiliki pengacara sepertiku?"
"Kau pengacara abal," cibir Jules, asisten pribadi Xander. Kini gantian Xander menertawakan kembarannya itu. Ia mengadukan tinjunya dengan Jules. Setelah Jonah tak lagi menjadi asisten pribadi ibunya, Judah langsung menggantikan posisi pria itu. Dan sekarang, anak Judah, Jules yang jadi orang kepercayaan Xander.
"Tapi, aku dengar mantanmu itu terjerat skandal dengan salah satu pejabat negara. Apakah kalian yang melakukan itu?"
Xander mengangkat bahunya cuek. Tapi yang pasti, ia tahu itu perbuatan sang ibu. Oh, bukan Direktur Utama AM Group kalau bisa dengan mudah membuka rahasia gelap seseorang.
Tiba-tiba, seorang gadis muncul di hadapan mereka. "Aksa, aku tidak membawa dompetku, apakah kau bisa membayar tagihanku?" tanya gadis itu. Wajahnya cantik dengan tubuh ramping dan tinggi.
"Lexie, kau ini kebiasaan sekali. Jangan mentang-mentang bisa pergi ke club, kau jadi menghamburkan uangku."
Lexie memutar matanya kesal. Ia memeluk leher kakaknya dari belakang seraya berbisik, "Aku sedang bersama dengan Noella dan Karina. Kau yakin tidak ingin membayar minuman kami?"
Mata Aksara sukses membulat. "Ya, akan aku bayar. Minumlah sampai pingsan," dehamnya kikuk. Ia kemudian memberikan black card miliknya pada sang adik.
"Terima kasih, Kakak." Lexie mengecup pipi pria itu sebelum kembali ke meja bersama dengan teman-temannya.
"Kau mentraktirnya karena ada Karina Athanasia di sana?" bisik Xavier nakal.
"Itu Lexie?" tanya Xander tak percaya. Terakhir kali yang ia ingat, Lexie hanyalah gadis kecil tak berdaya yang gemar menangis. Sekarang... gadis itu menjelma jadi wanita rupawan.
"Ya, dia baru lulus beberapa bulan yang lalu. Katanya, ibuku ingin dia melanjutkan tempat kursus Bahasa Indonesia milik kami," jawab Aksara sembari menyesap wine di gelasnya.
Xander tak lagi menjawab. Mata pria itu kini sibuk melihat Lexie yang sedang bercengkrama dengan adik dan sepupunya itu.
"Kau menyukai Lexie, ya?" bisik Xavier seakan bisa membaca isi pikiran kembarannya itu. "Hati-hati, Aksa sangat menjaga adiknya itu. Ia sudah pasti tidak akan memberikan Lexie apalagi setelah mengetahui perbuatan bejatmu itu."
Sialan. "Aku tahu itu. Lagi pula, aku tidak sebejat itu sampai-sampai tidak pantas mendapat restu darinya."
"Aunty Anna menyukaimu. Setidaknya, itu lebih baik dari restu Aksara. Aku mendukungmu, Man," ujar Xavier.
Xander mengangguk. "Aku pergi sebentar," pamitnya. Pria itu juga bisa melihat Lexie yang pergi sejenak ke bar.
Xander berdeham pelan ketika ia berada di samping gadis itu. "Xander?!" pekiknya terkejut. "Ya Tuhan, sudah lama sekali!"
Pria itu terkekeh pelan melihat gadis di hadapannya yang heboh sendiri. "Empat tahun kita tidak bertemu. Apa kabarmu, Lexie?" tanyanya.
"Kabarku? Aku baik-baik saja. Kau sendiri bagaimana?" balas Lexie.
"Aku juga baik."
Tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Sialan, kenapa Xander yang terbiasa menggoda wanita mendadak tak berkutik di hadapan Lexie. Apakah gadis itu punya semacam sihir?
"Aku tak menyangka Noella dan Karina sangat ahli minum-minum. Aku bisa pingsan duluan kalau terus mengikutinya," ujarnya sambil tertawa. Terlihat wajah Lexie yang sudah memerah karena alkohol.
"Kalau kau pingsan, aku dengan senang hati akan mengangkatmu." Gombalan Xander membuat pipi Lexie memerah.
"Kau bisa saja, Xander. Tapi, sebelum itu mungkin kakakku sudah melakukannya lebih dulu. Ah, dia juga yang akan menghajarku."
"Ngomong-ngomong soal Aksara, apakah dia pernah keberatan jika kau berpacaran?"
Dahi Lexie mengerut bingung. "Sepertinya tidak pernah. Ah, dia baru akan marah kalau ada yang selingkuh dariku." Entah ini perasaan Xander saja, tapi ia melihat rahang Lexie sedikit menegang.
Xander mengangguk-angguk. Berarti ia tidak perlu susah-susah mendapat restu dari Aksara. Ini pasti mudah.
"Xander, sepertinya aku harus kembali. Noella pasti akan cerewet mencariku kalau aku tidak segera kembali." Lexie bangun dari kursinya, namun kepala gadis itu sedikit pusing sampai ia hampir jatuh.
Xander buru-buru menahan tubuh Lexie agar tidak mencium lantai. "Kau sudah mabuk parah, Lexie."
Lexie tak menjawab. Mata birunya kini menatap Xander dalam-dalam. "Kau itu... ternyata tampan, ya."
Ucapan Lexie membuat tubuh Xander mematung. Saat itu juga, kedua orang itu masuk dalam pusaran yang menjerat satu sama lain.
—THE END—
xoxo~ZaeNick💅
KAMU SEDANG MEMBACA
Conglomerate's Love
General FictionTHE LOVE SERIES #2 17+ Zae Ambroise, gambaran gadis sempurna dambaan umat manusia. Paras cantik, kekayaan tak hingga, dan otak cerdas sebanding dengan Einstein. Siapa sangka ia memilih untuk membangun kehidupan baru di sebuah negeri yang bahkan tak...