Twenty-Five

238 21 0
                                    

"Zae, apa kau ingin keluar hari ini?" tanya sang ibu ketika mereka sedang sarapan bersama. Cantrelle sedang menuangkan sereal pada mangkuk anaknya.

"Aku akan mengunjungi makam Winter," jawab Zae.

Mereka semua terdiam. Sudah lebih dari sebulan sejak Winter dimakamkan. Keadaan Zae sudah membaik sejak beberapa hari yang lalu dan mereka semua juga sudah kembali beraktivitas seperti biasanya.

Cantrelle menatap Troyes. Pria itu hanya mengangkat bahunya, tidak tahu lagi apa yang harus ia perbuat.

"Zae, apakah kau mau makan siang bersama Mom hari ini? Sudah lama kita tidak melakukannya, bukan?" tawarnya pada anak gadisnya.

"Tidak perlu, Mom kan sibuk," balasnya. Ia menyendokkan sereal itu ke dalam mulutnya.

Tapi, Cantrelle tidak mudah menyerah. Ia mengalungkan tangannya di leher gadis itu. "Ayolah, Mom tidak sibuk hari ini. Aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua denganmu. Ya, ya?"

Zae pasrah. Bukan Direktur Utama AM Group kalau tidak pandai mengambil hati para entertainer untuk bekerja sama dengan mereka. "Baiklah, aku akan makan siang dengan Mom hari ini, setelah aku mengunjungi makam Winter."

Cantrelle mengecup pipi anak gadisnya. "Terima kasih. Mom akan memberi tahu Jonah nanti."

Zae hanya mengangguk. Ia melanjutkan memakan serealnya hingga mangkuk itu tandas. Ketiga orang lainnya kemudian pamit pergi untuk bekerja, sementara Zae kembali ke kamarnya.

Sebulan sudah berlalu, tapi rasa ini masih saja membekas. Tidak bisa hilang begitu saja. Dokter dan psikolog yang didatangi khusus untuk merawat Zae juga belum bisa menyembuhkan gadis itu seutuhnya.

Zae menarik napas dalam. Ia memutuskan untuk duduk sejenak di balkon kamarnya sebelum ia mandi. Zae hanya menatap hamparan bunga di taman. Ini sudah hampir musim panas jadi matahari bersinar cukup terik. Gadis itu duduk di sebuah ayunan kecil di balkon tersebut.

Angin sepoi-sepoi menerbangkan anak rambut brunette miliknya. Melakukan ini cukup bisa menenangkan hatinya. Seberapapun kesedihan yang menghantuinya karena kematian Winter, ia tetap harus melanjutkan hidup.

"Kau pasti marah kalau melihatku seperti ini," gumam Zae pelan. Ia terkikik geli kalau mengingat bagaimana Winter marah. Setelah beberapa jam, Zae akhirnya memutuskan untuk masuk dan mandi. Ia akan mengunjungi Winter sekaligus makan siang bersama ibunya.

...

Zae turun dari kamarnya. Gadis itu telah siap dengan balutan kaos putih, celana jeans, blazer hitam, dan sneaker putih miliknya. Ia kemudian menghampiri Jonah yang sedang minum kopi di meja bar ruang makan.

"Nona ingin pergi sekarang?" tanyanya ketika ia lihat Zae menghampirinya.

"Ya, kita ke makam Winter dulu," ucapnya. Ia kemudian melangkah keluar menuju mobil yang akan membawanya. Mobil Maserati Quattroporte itu berjalan meninggalkan mansion milik keluarga Ambroise.

Zae hanya menatap jalanan kota yang lenggang. Ia menghembuskan napasnya pelan. Ini pertama kalinya ia mengunjungi makam Winter.

"Nona ingin minum?" tawar Jonah. Tangannya menjulurkan botol air untuk Zae.

Zae menerimanya dan mengucapkan terima kasih pada Jonah. Gadis itu kemudian menegak minumannya hingga habis dan meremas botolnya hingga remuk.

"Anda baik-baik saja?" Jonah melirik sedikit pada Zae.

Zae tertawa pahit. "Mana mungkin aku bisa baik-baik saja, Jonah. Semua ini... masih terlalu berat bagiku."

Jonah mengusap kepala gadis itu. "Tidak apa. Semua orang butuh waktu untuk pulih. Saya yakin, perlahan Anda juga bisa melewati ini."

Conglomerate's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang