Zoe menatap gadis yang ada di depannya. Nadanya santai, namun tatapannya menusuk tajam. Dapat dipastikan Zae adalah teman dekat anak ini.
"Kau bukan Zae," ulangnya lagi. "Kalau kau ingin berpura-pura jadi Zae, belajarlah padaku dulu. Aku amat mengenalnya."
Zoe menghela napasnya. "Aku Zoe."
"Kembaran Zae?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Mungkin hanya aku satu-satunya orang yang tahu di sekolah ini bahwa Zae memiliki kembaran dan...." Anna memajukan badannya dan berbisik di telinga Zoe. "Aku mungkin satu-satunya yang tahu bahwa kembarannya adalah seorang agen."
Zoe membelalakan matanya. Ia mencengkram lengan gadis itu. "Dia yang memberi tahu?"
Anna tersenyum, kemudian menggeleng. "Aku pernah tak sengaja mendengar pembicaraan Zae soal agen rahasia. Ketika aku melihatmu di sini menyamar sebagai Zae, aku simpulkan kau itu juga termasuk komplotan agen rahasia. Jadi, kau anggota apa? CIA?"
"Aku tidak akan mengiakan maupun membantahnya. Kau sangat hebat, Nona...."
"Alanna Jean. Kau bisa memanggilku Alanna atau Anna. Tetapi, karena kau menjadi Zae hari ini, kau harus memanggilku Anna." Anna mengulurkan tangannya pada Zoe sambil tersenyum bersahabat. Zoe menjabat tangan itu.
"Aku harus banyak belajar menjadi Zae."
"Tenang saja, aku akan membantumu. Menjadi Zae sebenarnya mudah, mungkin bagian tersulitnya adalah menjaga tanganmu agar tidak menghajar orang yang mengolokmu." Anna tertawa pelan.
"Memangnya orang berani mengejeknya?" Topik tentang Zae kini sangat menarik perhatian Zoe.
"Di Amerika sana, mungkin keluarga Ambroise bebas mengacau. Tapi, ini Indonesia, tidak banyak orang yang mengenal siapa Ambroise sebenarnya. Bisa dibilang, Zae tidak pernah mengungkap identitas aslinya kepada orang banyak. Semua orang di sekolah ini hanya mengenal Zae sebagai anak asing yang gemar berbuat ulah," jelas Anna.
Zoe manggut-manggut mendengar penjelasan itu. "Ada lagi?"
"Banyak. Memangnya Zae tidak memberi tahumu?" Anna bertanya balik.
"Tidak, sialan itu tidak memberitahuku sama sekali. Yah, ini juga salahku. Terlalu terburu-buru untuk memutuskan ini semua."
"Intinya, bersikaplah acuh. Terutama ketika berhubungan dengan pelajaran."
Baru saja Zoe ingin bertanya lebih lanjut, bel sudah berbunyi. Para murid penghuni kelas itu segera masuk dan duduk di tempat miliknya masing-masing. Tak lama, seorang guru datang dengan tatapan yang tajam. Saat itu juga, Zoe tahu bahwa guru ini adalah guru killer.
"Hari ini kita akan mengulang pelajaran kemarin. Saya akan tunjuk tiga siswa yang akan mengerjakan soal di papan tulis. Yang pertama...." Mrs. Elia mulai mengedarkan pandangan ke satu kelas. Terdengar banyak sekali bisik-bisik doa yang berharap nama mereka tidak akan dipanggil. "Ms. Zae Ambroise, silakan maju ke depan. Minggu lalu Anda tidur di kelas saya. Saya jadi penasaran seberapa hebatnya Anda."
Zoe masih terdiam menatap ke bawah. Dia lupa kalau dia sedang berpura-pura menjadi Zae.
"Ms. Ambroise?" panggilnya sekali lagi. Anna berdeham di sebelahnya, memberi kode pada Zoe untuk maju. Zoe yang tersadar, akhirnya maju ke depan.
"Bagus, Anda melamun lagi di pelajaran saya. Tolong lakukan pelanggaran lagi agar saya punya alasan untuk memasukan Anda ke ruang BK," ujarnya dingin.
Zoe memutar mata dalam hati. Cih, dasar guru pendendam. Lagipula kenapa Zae harus berurusan dengan guru ini? Gadis itu ingin main-main rupanya.
"Kerjakan sekarang!" perintahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Conglomerate's Love
General FictionTHE LOVE SERIES #2 17+ Zae Ambroise, gambaran gadis sempurna dambaan umat manusia. Paras cantik, kekayaan tak hingga, dan otak cerdas sebanding dengan Einstein. Siapa sangka ia memilih untuk membangun kehidupan baru di sebuah negeri yang bahkan tak...