Anna benar-benar pusing mendengar penjelasan Zae. "Jadi... kau ini sedang berusaha kabur dan kau membawaku agar mereka tidak membawamu pulang paksa?"
Zae mengangguk pelan. "Maafkan aku, Ann. Aku tidak bermaksud menipumu, aku punya alasan melakukan ini."
Anna sudah kehabisan kata-katanya. Ia memijat keningnya pelan. "Aku harus ke toilet sekarang." Gadis itu kemudian pergi menjauh untuk menenangkan pikirannya.
Zae hanya bisa mendesah pasrah. Ia tahu mungkin dia sudah gila mengajak Anna kabur bersamanya. Tapi, ini satu-satunya cara agar ia bisa merasa hidup normal. Katakan saja dia memang egois.
"Tidak baik anak gadis duduk sendiri seperti orang depresi seperti ini," sahut sebuah suara yang tidak asing. Zae mendongak melihat pria yang kini duduk di hadapannya.
"Kenapa kau ada di sini?" tanyanya curiga.
"Tenang saja, aku memang sedang ada urusan di sini. Bukannya mengadu pada Troyes." Louis menyesap kopinya. "Melarikan diri lagi? Kau tahu sebagaimana kau mencoba berlari, masalah itu tidak akan hilang, bukan?"
"Bukan hakmu menghakimiku, Lou. Kau tidak tahu alasanku yang sebenarnya."
"Tapi, kata-kataku itu tidak salah, bukan? Kau memang ingin kabur dari sana."
Zae mendengus kesal. Kenapa pula pria ini suka sekali mengganggu hidupnya? Louis kemudian berdiri.
"Aku tidak bisa lama-lama di sini, pesawatku akan segera berangkat. Tapi, dengarkan aku, seberapapun kau lari menjauh, masalah itu hanya akan semakin membesar. Lebih baik kau selesaikan sebelum kau menyesalinya." Pria itu kemudian menjauh.
Zae hanya bisa menundukan kepalanya. Perkataan Louis tadi cukup kena ke hatinya. Louis tidak salah ketika mengatakan hal itu. Tapi, Zae masih belum rela melepas ini semua. Ia menatap layar ponselnya yang sengaja ia matikan. Sudah pasti semua orang berusaha menghubunginya. Ia juga melihat layar ponsel Anna. Ada banyak sekali telepon dari ayahnya dan Winter.
Anna baru saja kembali dari toilet. Wajahnya terlihat basah. Sepertinya ia mencuci wajahnya. Gadis itu kini menatap Zae datar. Tatapannya menurun tatkala ponsel itu kembali berbunyi.
"Kalau kau ingin angkat, angkat saja. Aku tidak masalah jika kita harus kembali," gumam Zae pelan.
Anna menghela napasnya pelan. Setelah dering itu mati, Anna langsung mematikan ponselnya. Zae menatap dengan wajah bingung.
Anna berdiri dan mengulurkan tangannya. "Kalau kau mau kabur, tentu tidak boleh sampai diketahui, kan?" Gadis itu tersenyum simpul. Begitu pula dengan Zae. Ia mengambil uluran tangan itu.
"Jadi, kita akan tetap kabur ke Eropa?"
"Tentu saja, ibuku sudah meminta banyak foto di Eropa. Adik dan kakakku juga meminta oleh-oleh. Aku tidak boleh mengecewakan mereka karena alasan konyol itu," tukas Anna.
Zae tertawa. Ah, memang sahabatnya ini yang terbaik.
"Siapa pria yang tadi berbicara padamu?"
"Calon suamimu," jawab Zae asal. Anna mengabaikan jawaban tidak masuk akal itu.
...
Pesawat itu mendarat di bandara Charles de Gaulle, Paris setelah hampir delapan belas jam perjalanan. Zae membantu Anna mengurus imigrasi.
"Kau tidak ada pengecekan?"
"Tidak, aku punya paspor diplomatik."
"Eh? Bagaimana bisa?" tanya Anna sedikit terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Conglomerate's Love
General FictionTHE LOVE SERIES #2 17+ Zae Ambroise, gambaran gadis sempurna dambaan umat manusia. Paras cantik, kekayaan tak hingga, dan otak cerdas sebanding dengan Einstein. Siapa sangka ia memilih untuk membangun kehidupan baru di sebuah negeri yang bahkan tak...