PERINGATAN Yadnom barusan membuat Vahn menelan liur. Jantungnya berdegup kencang mengetahui sosok di depannya saat ini bukanlah Xade, terlepas dari cara bertarungnya yang begitu familier.
Semakin sosok yang wajahnya tertutup oleh alat pernapasan itu mendekat, semakin perasaan Vahn tak keruan. Kini, mereka benar-benar berhadapan sejajar. Alih-alih melihat sang sosok misterius dengan lebih jelas, Vahn hanya bisa melihat refleksinya sendiri di visor hitam yang mengkilat itu. Vahn tetap akan mengira sosok di depannya ini adalah Xade, andai kaki orang itu tidak lebih panjang darinya. Dan seingat Vahn, otot lengan dan badan Xade tidak sebesar orang ini, meski bedanya tidak terlalu kentara.
Tinggiku dan Xade tidaklah berbeda terlalu jauh, dan tubuh sekekar ini pasti akan mencolok ketika mengenakan seragam batik guru SMA Swasta Pancasila.
Tapi kenapa gaya bertarung mereka sama persis!?
OH! Otak Vahn yang tak henti berputar akhirnya menemukan jawaban.
"Yadseut," sosok itu akhirnya bersuara. Dan benar saja, suaranya lebih berat dari Xade. "Buatkan kami ruang dengan udara segar agar aku bisa memperkenalkan diri dengan layak."
Detik berikutnya, Vahn dan orang itu sudah berada dalam ruangan kaca berbentuk kubus dimana mereka bisa bernapas dan berdiri tegak tanpa perlu dibantu perangkat yang mereka kenakan masing-masing.
Momen yang dinanti pun tiba. Orang itu melepas penutup kepalanya yang serba hitam. Ia tersenyum hangat ke Vahn seraya sedikit membungkukkan badan.
"Salam, Tuan Bayu Pratama," ucap pria itu khidmat.
Tidak salah lagi. Ia benar-benar orang dalam potret yang terpajang di ruang rapat Istana. Aduh, aku harus bersikap bagaimana!? batin Vahn panik.
"Tuan Razeaspen," Yadnom membantu proses perkenalan itu. "Orang di depan kita adalah Wirden Trix Dleir. Pemimpin Tertinggi Planet Sanivia."
Vahn mengangguk-angguk cepat. "Iya, iya. Ayah Xade. Sang Pemimpin Tertinggi." Ia pun lekas membungkukkan badan untuk berlutut.
Wirden melepas pedang Yadseut agar kedua tangannya bisa menahan tubuh anak itu.
"Aku tidak pantas mendapat penghormatan darimu, Tuan Bayu. Kami semua tidak pantas."
Vahn membalas. "Kalau begitu, mohon jangan perlakukan saya secara istimewa, Yang Mulia. Dan Anda tidak perlu memanggil saya dengan sebutan 'Tuan'. Jika sepakat, saya akan berhenti berlutut."
Wirden mengangguk seraya melepas tangannya dari Vahn. "Cukup adil."
Vahn mengambil waktu sesaat untuk memerhatikan seperti apa orang yang berhasil membesarkan anak seperti Xade Dleir. Mata biru itu jelas menurun dari orang ini, meski Xade belum memiliki kerutan samar di sekelilingnya. Rambut cokelat gelap Wirden selebat janggut dan kumisnya sehingga membuat Vahn sulit membayangkan wajah asli orang itu.
Paras rupawan Xade memang berasal dari Lind. Tapi aura dan wibawanya jelas dari ayahnya. Dia memang terlihat tenang sekarang, tapi aku yakin jika sedang marah, orang ini akan jauh lebih mengerikan dari Fazl Jarr.
Vahn lirik pula senjata Yad milik Wirden yang sudah berubah ke bentuk robot. Ia juga akan mengira itu Yadsendew, andai mata bundarnya tidak menyala merah.
Siapa tadi namanya? Yadseut, ya, kalau tidak salah? Ternyata dia senjata Yad yang mendamping para pemimpin tertinggi Sanivia termasuk Yang Mulia Wirden Dleir.
"Wirden," Yadnom menggunakan pengeras suara di bagian luar armor Vahn. "Beliau sudah berganti nama menjadi Vahn Razeaspen. 'Nama Bumi'-nya sudah tidak ia gunakan lagi."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Universe
Ciencia FicciónBabak ke dua Xade dalam melatih dan membawa Lubang Hitam ke Sanivia. Usai mendapatkan kekuatannya kembali, Vahn sang Lubang Hitam justru mengalami kesulitan baru lantaran perubahan fisiknya yang menimbulkan tanda tanya semua orang. Masalah Xade pun...