Soal foto yang dikirim oleh Marco... Lula mencoba tak terpengaruh oleh itu. Dia mencoba bersikap tak peduli, walau dirinya selalu peduli.
Setelah Marco mengirim foto itu, Lula sama sekali belum menemui Marco hingga saat ini. Dan lihat, cowok itu sepertinya juga tidak peduli pada Lula.
Lula berjalan melewati lorong sekolahnya. Entah kenapa kakinya melangkah untuk menuju pada dance room.
Cewek itu mengikuti langkah kakinya. Hingga tibalah Lula di sini. Pandangannya masih jatuh ke bawah sneakers yang ia pakai.
Tangannya yang ingin membuka pintu tersebut menjadi terhenti. Pemandangan di depannya lebih menarik perhatian Lula saat ini.
Sial! Lagi-lagi perasaan seperti malam itu terulang kembali. Dan kali ini terlihat lebih nyata dan sesak. Lula menggenggam erat gagang pintu itu, menjadi korban kekesalannya.
Akan tetapi, raut wajah Lula tidak terdapat kesal sedikit pun. Cewek itu menatap datar ke depan, seolah baik-baik saja. Namun paru-parunya seakan tidak memberinya kesempatan bernapas. Rasa sesak menjalar di tubuhnya.
Buru-buru Lula pergi dari tempat sialan itu. Tempat di mana Lula selalu mendapati dua insan yang bermesraan?! Mungkin dance room sudah berganti fungsi menjadi tempat kecan?
Sial!
***
Hahaha. Sungguh lucu bagi Lula saat ini. Dia rasanya ingin menertawakan dirinya. Namun semua itu tidak bisa Lula lakukan, cewek itu malah terduduk lemah di bangku taman belakang sekolah.
Lula seperti layaknya wanita yang kehilangan harapan hidupnya. Saat ini dia meneteskan air mata sedikit demi sedikit.
Pikirannya mengatakan bahwa ia tidak boleh terlihat lemah, tetapi hatinya berkata lain. Dadanya bertambah sesak menahan semua luka yang Marco torehkan untuknya.
Semuanya sudah tidak bisa Lula tahan lagi. Saat ini cewek itu menangis dengan tubuh yang membungkuk pada pahanya, supaya tak terlihat yang lain.
Dadanya sesak. Bulir air mata sudah membasahi wajah Lula. Dan pastinya, hidung Lula menjadi tersumbat-meler karena tangisannya.
"Heh babu. Gue cariin lo. Lo malah enak duduk-duduk di sini. Apa mau rahasia lo gue sebar?"
Lula tak mendengar suara itu. Suara Dava mengambang di udara. Lula masih melanjutkan tangisannya, dan sekarang bertambah kencang.
Dava mendekat pada Lula yang berada di bangku taman itu. Cowok itu mengernyit bingung, lantaran Lula tak mendengar suara kerasnya.
Dengan baik hati, Dava menarik lengan Lula yang bersimpuh pada pahanya itu. Hal itu jelas saja membuat wajah Lula terlihat, dan Dava terkejut.
Raut Dava yang santai berubah menjadi mengasihani Lula.
"Yaah. Kok lo nangis, sih." Dava mengambil duduk di sebelah Lula.
Tanpa permisi, Dava menghapus air mata Lula yang menggenang di pipi dengan kedua tangannya.
Yang dilakukan Dava membuat Lula kesal. Mau ditaruh dimana wajahnya? Ketahuan nangis, dan sekarang terlihat lemah di depan cowok itu.
Lula menangkis usapan Dava di pipinya. Ingusnya yang meler karena menangis, mau tidak mau Lula tarik kembali. Lalu cewek itu menatap datar ke arah Dava.
Lula mencoba tidak terlihat lemah di depan cowok sialan itu. Lulu cewek itu berjalan meninggalkan Dava yang memasang wajah tak terimanya.
Dava mengikuti langkah Lula, "lo! Masih mending gue baik ke elo," geram Dava.
KAMU SEDANG MEMBACA
LALULA
Teen Fiction"Murahan banget, sih, lo." "Gak ada bedanya lo sama nyokap lo. Sama-sama pelacur." Cowok itu menghembuskan napas kasar. "Lo pikir gue bersikap baik sama lo gara-gara gue suka sama lo, huh?" "Gue cuma mau tubuh lo, anjing. Dan sekarang lo ngasih tu...