30. Antisipasi

2.9K 131 0
                                    

"La, kalau aku selama ini cuma mainin perasaan kamu gimana?"

Pertanyaan sialan dari Dava membuat Lula terhenti dari aktivitasnya. Tubuhnya meremang setelah mendengar pertanyaan itu. Tak pernah terpikirkan jika Dava benar-benar hanya main-main kepadanya. Lula selama ini terlalu terbuai dengan sikap manis Dava, ia juga melupakan sedikit demi sedikit masalah lampau yang cowok itu ciptakan. Lula benar-benar merasa seperti gadis bodoh sekarang.

Belum ada 24 jam Lula mengatakan bahwa ia tidak percaya dengan hubungan yang mereka miliki, dan sekarang Dava menunjukkannya. Lula tak menganggap omongan Dava hanya angin lalu, jelas ia merasa seperti ditusuk belati. Hubungan ini nyatanya sia-sia, hanya ia yang serius dengan semuanya. Dava hanya menginginkan kepuasan darinya, itu tidak berarti apa-apa untuk Dava.

Perkataan Dava membuat mood nya turun drastis. Sudah tidak ada lagi nafsu untuk makan sekarang. Dengan nyalang, Lula memberanikan menatap cowok itu. Tatapannya dingin dan tidak main-main.

"Kenapa harus sejauh ini kalo cuma main-main?"

Lula memundurkan kursi yang ia duduki dengan kasar. Cewek itu dengan langkah yang sedikit cepat mulai menjauh dari meja makan.

"Nggak usah main-main lagi, Dav. Hubungan kita selesai. Kamu nggak perlu repot-repot lagi sekarang, aku bakal pergi dari sini."

"Sial! Lula, nggak gitu maksud aku."

Damn! Dava benar-benar panik sekarang. Cowok itu langsung menyusul Lula dan menghambat jalan cewek itu. Dava langsung memeluk Lula dengan sangat erat. Ia tidak akan membiarkan Lula lepas darinya.

Lula mendelik sinis. Ia kesal, suasana hatinya berubah menjadi tidak baik akibat Dava yang merusaknya. Di dalam kukungan Dava, Lula mencoba menghempas kasar tubuh cowok itu, tetap usahanya sia-sia.

"Nggak apanya. Minggir! Aku mau pulang ke rumah." Lula berusaha mendorong dada bidang Dava.

"Nggak boleh!"

Masih dengan Lula yang memberontak, Dava membawa cewek itu pada tepian meja makan. Tubuh Lula didudukkan pada meja makan tersebut.

"Aku cuma bercanda, La. Aku cuma mau buat kamu ketawa—"

"Bercandaan kamu nggak lucu, Dav." Tatapan Lula menghunus ke netra Dava. Namun tersirat getar hebat di tatapan tersebut.

"Kamu tambah buat aku nggak percaya sama hubungan ini, Dav! Dan sekarang, apa yang harus kita lanjutin?"

"La... Aku cuma bercanda tadi. Aku niat mau buat kamu ketawa dan lupain sama apa yang kamu pikirin kemarin. Aku serius sama kamu, La."

Niat awal Dava memang untuk membuat Lula tertawa akibat gurauannya. Namun semuanya berbeda sekali, perkataannya malah menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Dava benar-benar selalu bodoh dalam memilih pilihan seperti ini. Dan dia benar-benar menyesalinya.

"Dava, bercandaan kamu nggak lucu! Aku lagi bener-bener—AKH SIAL!"

Kata-kata Lula benar-benar habis, digantikan oleh air mata yang turun membasahi pipinya. Matanya kini sudah berkaca-kaca tak tahan. Ia benci fakta dimana ia sangat mudah menangis sekarang, apalagi penyebabnya adalah Dava.

Mendapati Lula yang menangis, cowok itu mendekap hangat Lula. Ia mengusap surai gadis itu. Bukan hanya tangannya yang bergerak, bibirnya juga tidak tinggal diam untuk mengecup kening Lula—memberikan ketenangan pada gadis itu.

"Aku bener-bener takut, Dava. Aku takut kamu ninggalin aku, aku takut kalau pikiran aku beneran jadi kenyataan. Aku takut, Dav! Dan bercandaan kamu nggak di situasi yang tepat."

"Maaf, La." Dava mengelus rambut Lula hati-hati.

"Dengan kamu bilang kayak tadi, itu semakin ngebuat aku yakin kalo kamu bakal ninggalin aku. Dan semua ini berujung sia-sia. Semua yang kita lakuin, aku bakal nganggep kalau kamu cuma mau seks doang, Dav. Sama kayak yang cowok itu bilang ke ceweknya."

LALULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang