"Cut!"
Beberapa tepukan tangan terdengar ketika aku selesai menyampaikan beberapa macam berita yang terjadi pada hari kemarin. Tepukan tangan itu tidaklah meriah seperti yang aku lihat-lihat di acara konser musik, tetapi tepukan itu cukup buatku berbangga hati karena ada seseorang yang memberikanku apresiasi.
"Bagus Nastya kamu emang pembicara yang sangat kharismatik. I am so proud of you." ucap salah seorang yang ikut andil dalam berjalannya acara live kali ini.
"Ah si abang suka bikin deg-degan gitu deh. Pake so-sokan pake bahasa inggris lagi."
"Ah si eneng juga bisa aja." ucapnya membalas ucapanku dengan gaya malu-malu.
Dan kami semua pun tertawa bersama. Beginilah kebahagiaan, tertawa bersama orang lain saja sudah lebih dari cukup untuk membuat hidup lebih menarik walaupun sedikit. Cukup tau juga bahwa tidak semua tawa tadi murni tapi hidup selalu begitu bukan? Ada yang terlihat real dan juga fake?
Dibalik tawa, kebahagiaan dan kesenangan masing-masing, pasti mempunyai kejanggalan yang hanya mereka sendiri yang tau.
Begitupun aku, walaupun semua orang yang ada di ruangan ini tertawa dan aku pun begitu, tapi jauh dilubuk hatiku yang terdalam terdapat perasaan yang sangat mengganjal, seperti ada bongkahan batu besar mengganjal di sana.
"Hei. Jadwal lo hari ini cuman tadi aja kan? Gaada acara on air lagi?"
"Gaada sih bentaran lagi juga langsung cabut balik, ada apa?" tanyaku pada Feri—kameramen timku.
"Gaapa-apa sih cuman nanya aja. Cabut makan yuk udah masuk jam makan sore nih." ucapnya sambil menarik-narik tanganku ke arah lift.
"Beuhh bahasanya udah kaya orang bule aja. Mau makan pagi, siang, malem ke... ya kalo laper makan aja kali ga usah di jadwal gitu, lagian juga nggak ada tuh yang namanya makan sore." cibir ku.
"Ya terserah gue lah gue ini. Ayo lah Nas... mau ya temenin doang kok."
"Terus gue cuman ngeliatin situ makan aja gitu? Itu sih enak di situ." protesku sambil menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak setuju.
"Ogah ah mendingan pulang terus makan makanan nyokap, lebih enak dan gratis."
Feri menggeleng-gelengkan kepalanya. "Cih dasar anak emak."
"Biarin wleee." ucapku dengan menjulurkan lidah, mengejeknya.
"Cabut duluan ya, dadah Feri muaacchhhh."
Kutekan angka 1 tombol lift dan pintu pun tertutup meninggalkanku seorang diri didalamnya.
Aku merasa aneh hari ini, kenapa perasaan nggak enak ya? Mata juga kaya ngedip sendiri—menurut orang sih itu tanda-tanda mau nangis, cihh mata ngedip doang malah dihubungin sama hal-hal mistis, apa hubungannya kan? Masih untung bukan kecolok juga.
Tempat parkir atau basement emang ada di lantai paling bawah, tapi karena takut sekaligus terlalu jauh jika harus pergi ke basement, aku sering menitipkan motor matic-ku pada sebuah toko kue yang ada di sebelah gedung tempatku bekerja.
Toko itu entah kenapa selalu sepi pengunjung padahal jika dilihat dari sudut pandang mataku, toko itu berada ditengah-tengah kota yang termasuk tempat jarang sepi pengunjung. Kata kru disini sih karena kena pelet jadi nggak laku.
"Mba aku pergi ya, makasih udah jaga motorku dengan baik dan benar.." ucapku dengan membuka pintu toko sedikit dan berteriak keras kepada penjaga toko. Kuparkirkan motorku, menstaternya, lalu melaju membelah jalanan ibu kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Perfectly Fine [COMPLETED]
RomanceCopyright©2021 - All rights reserved Aku dan mama hanya tinggal berdua di kota keras Jakarta, adikku sudah meninggal, dan sudah belasan tahun papa tidak terlihat, hanya mama yang aku punya di dunia ini. Suatu saat kulihat mama membawa pria tampan a...