"Maksud kamu apa?" ucapku dengan marah.
***
"Apa kita perlu ke dokter kandungan Nas? Hei hei hei... Dengarkan aku dulu... kurasa—" sebenarnya Bena masih berusaha untuk menjaga intonasi nada, dan memperingatkanku untuk mendengarkan ucapannya sampai habis, tapi mendengar ucapannya mengenai kandungan dan kekuranganku...
"Maksud kamu apa?" ucapku dengan marah. Aku tau seharusnya aku tidak perlu semarah ini, jelas disini yang salah adalah aku yang belum bisa memberikan keturunan untuk nya. Tapi... sama seperti beberapa hari belakangan ini, bukannya mendengarkan kelanjutan atau apapun itu untuk kejelasan, aku malah selalu berakhir dengan memarahi Bena—hanya untuk membuat perasaanku lebih baik.
Tapi kali ini... rasanya sakit sekali, aku tau bahwa kami belum juga diberikan keturunan di usia hampir dua tahun pernikahan kami ini, dan itu semakin membuatku marah, dan akan selalu menyalahkan Bena karena membawa masalah ini ke permukaan, padahal yang salah disini adalah aku.
"Hei hei... okee aku minta maaf oke? Aku nggak akan pernah ungkit-ungkit masalah ini lagi."
"Aku udah nggak mau makan sate, aku mau pulang."
Terdengar helaan napas Bena. Aku tau bahwa dia sedang menahan rasa lelahnya karena sifatku yang egois dan tidak mau mendengar ini. Sesudah kami menikah juga kutahu jelas bahwa Bena jadi lebih lunak—tidak setegas pendekatan kami sebelumnya, tapi bukan berarti aku yang menjadi dominan dalam rumah tangga kami. Balance, yeahh itulah yang Bena perankan sebagai kepala rumah tangga.
Sesampainya di rumah, langsung saja aku banting pintu kamar dan membenamkan tangisan di bawah bantal, hingga kurasakan usapan ringan dari arah kepalaku.
"Maafkan aku Nas, aku nggak akan pernah bawa-bawa pertanyaan sensitif itu lagi." mendengarnya aku semakin menangis keras "Tapi yang harus kamu tau, aku terima kamu apa adanya aku mencintai kamu ada ataupun nggak adanya anak dalam rumah tangga kita."
Bena menarikku lembut melepaskan benaman wajahku dari bawah bantal dan mengangkatku ke pangkuannya, menghapus air mata dan tersenyum hangat juga lembut. Kami saling berpandangan, aku mengalungkan tangan ke lehernya, dan kami berciuman. Saling melumat dan mendalami satu sama lain, terengah-engah dan berhenti ketika nafas kami sudah terputus-putus.
Kami bertatapan dengan sendu, aku tau aku pasti keliatan upset dengan bibir bengkak, hidung memerah, dan mata sembab sehabis menangis.
"Kamu masih mau sate? Nanti aku belikan, kambing 50 tusuk kan?" tanya Bena dengan usapan tangannya pada wajahku, menghilangkan residu air mata yang masih menempel di wajah. "Hmm aku nggak suka kamu nangis gini, jadi merah-merah, walaupun keliatan lucu, tapi tetep aja aku nggak suka kamu nangis, maafin aku ya."
Dengan raut memerah kupukul dadanya dengan malu-malu, menikmati perlakuan manis Bena. "Gamau udah males makan."
"Ck! Tapi katanya kamu pingin sate kan tadi? Aku beliin aja ya?" Bena memaksa.
"ISH aku bilang enggak ya enggak! Kamu ini gimana." dengan kesal aku turun dari pangkuannya dan berbaring kembali ke kasur, memunggunginya.
"Yaudah, kalo mau apa-apa kamu tinggal panggil aku aja ya?"
"Hmm." ucapku dengan malas dan akhirnya benar-benar tertidur.
***
Pagi harinya aku terbangun, melihat jam, dan melihat sisi samping tempat tidur melihat Bena yang masih terlelap saat jam menunjukkan setengah 6 pagi. Tersenyum, melihat Bena yang terlihat damai dengan tidurnya. Sebelum masuk wc untuk buang ait kecil, aku sempat meraba pipinya juga mengusap lingkaran bawah matanya yang menghitam dan baru sadar bahwa selama sebulan ini aku sering berulah dan merepotkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Perfectly Fine [COMPLETED]
RomanceCopyright©2021 - All rights reserved Aku dan mama hanya tinggal berdua di kota keras Jakarta, adikku sudah meninggal, dan sudah belasan tahun papa tidak terlihat, hanya mama yang aku punya di dunia ini. Suatu saat kulihat mama membawa pria tampan a...