Sepertinya semua orang satu tema untuk semua hadiah ini.
***
Pagi ini mama sudah menyiapkan sarapan pagi untukku. Makanan sederhana, bukan sereal, roti, atau oats yang sering disajikan untuk anak-anak orang kaya lainnya, hanya semangkuk bubur langganan yang sering mama beli.
"Malem pulang jam berapa Nas? Mama nungguin kamu loh." itu adalah pertanyaan mama pagi ini. Aku menatap mama dengan menyesal, karena pada faktanya aku baru saja pulang ke rumah dini hari tadi karena ada kerjaan lembur.
Sebenarnya ini sudah kesekian kali dalam kurun sebulan ini mama memergokiku pulang larut, dan biasanya jika aku memberitahu mama bahwa aku pulang larut tadi malam, aku yakin khutbah edisi hari ke dua puluh sembilan akan kembali terulang.
"Bena sering laporan ke mama kalo kamu sering minta ngebut kalo berangkat. Mama bukannya menghakimi kamu atau kaya gimana, tapi kalo sampe anak orang celaka, kamu bisa dituntut ini itu sama keluarganya—tapi mama percaya keluarga Bena nggak mungkin gitu."
"Tapi kan ma, Nastya itu emang lagi buru-buru, lagian si Bena itu kok ember banget pake segala bocor ke mama? Kalau sampe mama kepikiran terus sakit gimana coba?!"
"Yang ada kelakuan sibuk kamu kaya gini yang buat mama sakit Nas, mama nunggu kamu sambil deg-degan takut kalo kamu pulang malem lagi, jadi nya apa? Mama ikut-ikutan begadang juga kan."
"Kalo mama nggak mau repot ya udah mama tidur duluan aja. Nastya udah cape sama kerjaan, eh di rumah juga diomelin mama. Nastya tau mama khawatir, tapi jangan ngebebanin Nastya juga dong. Kalo nanti mama sakit, siapa yang repot? Nastya juga kan ma?"
Kukeluarkan segala kejengkelan hati. Pagi ini sudah mendung, sepertinya hujan sudah turun deras di sekitaran mood-ku pagi ini. aku sendiri kesal pada mama, bukan bermaksud apa-apa, aku hanya memperingatkan mama untuk tidak selalu memikirkanku, apalagi ikut-ikut tidur malam hanya untuk menungguiku.
Karena pada faktanya mendapat promosi itu tidak seindah naik gajinya, ada beban lain yang ditugaskan Peter padaku, dan akhirnya membuatku sedikit sibuk di kantor. Aku lelah selama seminggu ini hilir-mudik di kantor, tanpa jeda—bahkan untuk makan aja aku sedikit kewalahan.
Dan di rumah mama selalu marah-marah dan membela Bena dikala aku memojokkan tuan muda satu itu. Aku juga kesal pada Bena yang selalu membuat mama khawatir, contoh dengan membeberkan kalimat rutinku sebulan ini.
"Agak ngebut dong, aku harus buru-buru nih."
Aku sadar bahwa aku sudah dewasa, bisa bertanggung jawab atas apa yang aku dapat dan lakukan, jadi rasanya sedikit mengganjal saja ketika hal yang bisa aku ambil tanggung jawab itu disepelekan orang lain.
Jika Bena terus-menerus mengadu pada mama akan hal yang terjadi padaku, bisa disimpulkan bahwa orang itu tidak percaya dan mungkin akan berdampak juga pada mama. Mama pasti ikut-ikutan tidak percaya padaku, padahal aku ini sudah dewasa!
Bena masih mengantarku ke kantor, tapi akhir-akhir ini aku pun sering kali memintanya skip menjemput saat bubaran kantor. Bena mengiyakan, karena semakin kusadari, Bena dan aku memiliki pekerjaan yang amat jauh berbeda, dan akhir-akhir ini pun kami sering lembur dan ada sedikit jarak antara kami.
"Cantik." ucap Bena saat aku masuk kedalam mobilnya.
"Terima kasih." jawabku sedikit malu, setidaknya ucapannya kali ini bisa mengurangi rasa dongkolku pada tuan muda satu ini. Lagipula nggak biasanya Bena mengucapkan kalimat manis seperti itu.
"Jangan salah sangka, outfit-mu yang cantik." lanjutnya dengan kurang ajar.
Aku hanya memutar mata malas, sudah kuduga. Meladeni tuan muda satu itu tidak ada habisnya jadi jalan terbaik adalah mengumpatinya dalam hati.
"Ada masalah apalagi sama Anggita?"
"Masalah apalagi? Aku jarang ya selisih paham sama mama. Yang ada masalahnya datang dari kamu yang manas-manasin masalah!" ujarku agak jengkel. Tuan muda yang satu ini emang tiada tandingannya dalam menguji kesabaran, sudah tau pertengkaranku ini ada sangkut-paut dengannya, eh dia malah menanyakan seakan bukan salahnya.
"Anggita tadi—"
"Udahlah." ucapku menghentikan. Semakin Bena melanjutkan, semakin kesal juga aku mendengarnya.
"Kamu ini nggak sopan atau gimana? Aku mau melurus—"
"Aku bilang cukup! Mood Ku hancur banget hari ini, kalau kamu masih ingin mendebatku lebih baik turunkan saja aku disini." hatiku jengkel, rasanya sudah ada beribu-ribu kata yang sudah siap aku keluarkan demi mengumpati tuan muda satu ini.
"Kamu tau Bena? Kurasa papa nggak perlu bawa-bawa kamu ke kehidupan kami. Aku rasa kamu seperti mengadu domba antara aku sama mama, bahkan semenjak ada kamu pula mama sering bela kamu dibanding aku—"
"—oke, aku gak masalah kalau mama lebih bela kamu dibanding aku, tapi apa bisa kamu gak ikut campur sama masalah aku? Aku rasa papa gak mungkin nyuruh kamu untuk ikut ngatur dan keluar-masuk area rumah kami terlalu dalam, papa ga mungkin nyuruh kamu gitu. So please kamu, atur kehidupan kamu aja, jangan kehidupan aku apalagi bawa-bawa mama."
Banyak sekali yang berubah semenjak mama mengenalkan Bena pada kehidupan kami. Aku takut, jika Bena terlalu mendominasi akhirnya aku dan mama selalu bergantung padanya, dan aku tidak mau itu terjadi. Hidup dengan bayangan orang mendominasi di keluarga itu tidak selalu enak.
Dulu, mama selalu meminta pendapatku mengenai apapun, bahkan makanan kami sehari-hari mama selalu meminta pendapatku, tapi semenjak Bena mulai mendominasi, hal penting seperti mengundang keluarga Bena saat jamuan makan malam sebulan kemarin saja mama tidak ada pembicaraan denganku!
Ada saatnya dimana aku ingin berdua dengan mama, berbicara hangat tanpa perlu berdebat akan mama yang meng-iyakan segala pendapat Bena sedangkan pendapatku dengan tuan muda satu itu berbeda.
Bena tidak berkomentar, dan ketika kami sampai di depan kantor aku segera keluar dari mobilnya—tidak mau berselisih paham atau apapun yang memicu pertengkaran dengannya lagi.
"Aku mau bilang kalo besok kami akan jalan-jalan, seperti apa yang kamu janjikan saat dinner satu bulan kemarin. Kuharap kamu nggak ingkar untuk apa yang kamu janjikan. Ini bukan kemauanku Nastya, setidaknya tepati apa yang sudah kamu janjikan pada Anggita."
Setelahnya aku baru ingat bahwa aku punya janji agar setiap minggu akan mengajak mama berjalan-jalan, dan ini sudah sebulan berlalu dan aku belum juga menepati janjiku pada mama.
Sepertinya hubunganku dengan mama sedikit renggang, apalagi permasalahan tadi yang tidak kulanjutkan, setelah Bena datang menjemput, aku hanya salam dan pergi berangkat kerja. Maklum saja mood ku sudah tidak baik karena selisih paham dengan mama, jadi bukan hal yang baik untuk kulanjutkan selisih paham dengannya.
"Nastya kenapa lo masih cicing disitu? Bos manggil tuh." Feri datang dengan tas ranselnya yang berisi alat-alat untuk siaran hari ini.
Kuhela nafas, dan berjalan terseok-seok masuk kedalam kantor, dengan setumpuk beban yang menggunung di pundakku.
Ternyata naik gaji tidak seindah menerima duit nya.
***
[Minggu, 27 Juni 2021]
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Perfectly Fine [COMPLETED]
RomanceCopyright©2021 - All rights reserved Aku dan mama hanya tinggal berdua di kota keras Jakarta, adikku sudah meninggal, dan sudah belasan tahun papa tidak terlihat, hanya mama yang aku punya di dunia ini. Suatu saat kulihat mama membawa pria tampan a...